Kurasu no Daikiraina Joshi to Kekkon Suru Koto ni Natta Volume 1 - Chapter 4 (Part 2)
Chapter 4 - Istriku (Part 2)
Saito membuka matanya ketika
dia masih berbaring di tempat tidur.
Beberapa kilasan kecil cahaya
pagi menyelinap melewati tirai jendela, tapi masih agak lama sampai fajar
datang, dan dinginnya malam masih terasa.
Saito merasa bingung. Kenapa
dia bangun pagi-pagi sekali, pikir Saito sambil mencoba mengambil jam di
samping tempat tidur untuk mengecek waktu.
Namun, dia mendapati dirinya
tidak bisa bergerak. Ketika dia mengira dia dibatasi oleh alat siksaan atau
tidak — tetapi ternyata tidak. Akane sedang tidur sambal memeluk Saito.
– Dan di sinilah dia,
mengatakan dia akan mematahkan jariku jika aku menyentuhnya sedikit pun!
Dunia ini tidak adil. Namun,
dia tidak marah karenanya.
Dengan hanya lapisan tipis piyama
yang membungkusnya, sepertinya dia sedang memiliki mimpi yang indah.
Kaki telanjangnya yang halus
melingkari kaki Saito, sementara itu tangannya mencengkeram baju Saito.
Dadanya naik turun mengikuti
irama nafasnya yang lembut.
Aroma manis dari kulitnya dikombinasikan
dengan aroma yang mirip seperti bunga liar terbang hingga ke hidung Saito.
Kekuatan yang sangat destruktif
seperti ini, untuk anak laki-laki dalam masa pubertas sepertinya, hal ini
terlalu merangsang. Untuk sesaat, dia benar-benar lupa bahwa gadis ini adalah
seseorang yang dia benci.
–Jika aku ingin bergerak…dia,
akan bangun kan…?
Hatinya akan merasa bersalah
sama seperti dia membangunkan kucing yang tidur di pangkuannya. Dia menguatkan
dirinya dan tetap diam.
Wajah tidur Akane sangat imut,
seperti seorang Malaikat. Bibirnya setengah terbuka membuat dirinya terlihat
sangat polos.
Saito tanpa sadar mengulurkan
tangannya untuk menyentuh pipinyayang tak berdaya ynag biasanya tidak akan
pernah dia sentuh.
Saat dia menyentuhnya dengan
ujung jarinya, Akane membuka matanya.
Dia menatap wajah Saito dengan
ekspresi bingung. Sepertinya kesadarannya masih kabur, dan dia mengusap pipinya
ke dadanya, seperti seekor kucing.
Itu menggelitiknya baik secara
fisik maupun mental, sehingga Saito mengeluarkan suara yang cukup keras.
“O, oi…”
“………!?”
Akane ditarik kembali ke dunia
nyata.
Dia mengirim Saito terbang
menjauh. Darah mengalir dari wajahnya, dia memeluk bantalnya sebagai ganti
perisai.
"K, k, kamu berencana
untuk menyerangku?"
“Kamulah yang memelukku atas kemauanmu
sendiri!”
"Aku tidak akan pernah
melakukan hal seperti itu!"
“Kamu melakukannya! Kau
memperlakukanku seperti bantal pelukmu!”
"Aku lebih suka menjadikan
landak sebagai bantal pelukku daripada kamu!"
“Jadi kamu ingin ditusuk hidup-hidup!?
Aku benar-benar yakin bahw aku tidak melakukan apa pun ketika kamu tidur! Aku
hanya diam agar tidak membangunkanmu.”
Saito berusaha keras untuk menjelaskan.
Akane melihat ponselnya, hal
ini membuat Saito takut. Akan sangat merepotkan jika dia menelepon polisi
sekarang. Pertama-tama, mereka harus menjelaskan mengapa dua siswa sekolah
menengah hidup bersama, dan hal itu akan memperumit segalanya.
Ekspresi polos Akane yang
sedang tidur sebelumnya sekarang benar-benar tidak dapat dilihat sebagai
gantinya dia melihat Saito dengan hati-hati/(waspada).
"Kamu bilang kamu tidak
melakukan apa-apa? Pembohong. Bukankah kamu menggunakan kukumu untuk menusuk
tulang pipiku?”
"Mengapa aku ingin
melakukan sesuatu yang begitu kejam?"
Tulang punggung Saito tiba-tiba
menjadi dingin.
"Jadi apa yang kamu
lakukan?"
Akane memeluk bantal dengan
erat dan menatap lurus ke arah Saito. Ini bukan waktunya untuk bermain bodoh.
Saito menghela napas berat.
“….Wajah tidurmu sangat imut,
dan jadi aku melihatnya. Dan juga, aku tidak bisa menahan keinginan untuk
menyentuh pipimu. Maaf."
“Apa~…”
Akane tersipu malu.
Dia menyembunyikan wajahnya di
balik bantal, dan berbicara dengan suara yang hampir menghilang.
“B, benarkah,…?”
“Aah”
“S, Seberapa imut…?”
"Sampai-sampai seseorang tidak
akan tetap waras jika terus melihatnya."
Saito tidak bisa terus
bersikeras bahwa dia tidak bersalah jadi dia mengakui semuanya dengan jujur.
Akane gemetar, mungkin karena
amarahnya.
Dia mengintip dari bantalnya,
dan berbisik.
“…Jika itu hanya sedikit, maka
baiklah.”
“Eh?”
“Aku baru saja mengatakannya!
Wajah tidurku! Aku bilang kamu bisa melihatnya sebentar saja!”
Akane menjatuhkan diri ke
tempat tidur. Dia berbalik menghadap Saito, dan menutup matanya rapat-rapat.
Seperti yang dia nyatakan, rupanya dia ingin menunjukkan wajahnya yang sedang tertidur.
Konyol, tetapi juga bertanggung jawab atas suatu kesalahan.
Saito berbaring di samping
Akane.
Namun suara detak jantungnya
membuatnya tidak bisa kembali tidur.
Dan sepertinya Akane juga mengalami
masalah yang sama, dia tidak bisa diam. Tampaknya dia merasa khawatir/(tegang).
Suasana di dalam futon terasa
sesak, dan tidak ada yang bisa kembali tidur setelah itu. Fajar
berangsur-angsur datang.
Tepat ketika mereka akan Kembali
tertidur, jam weker berbunyi. Jam berulang beberapa kali sampai 30 menit lebih
lambat dari biasanya.
Saito adalah orang yang
menghentikan alarm tersebut. Akane, yang tidur di sebelahnya, sedang menarik
futon untuk menutupi bahunya. Piyamanya acak-acakan, memperlihatkan tulang selangkanya*.
Note : *tulang yang ada di
bawah leher/pundak
“S, selamat pagi…”
Senyum yang terlihat malu-malu.
Suasana yang manis, berlawanan
dengan hubungan kucing dan anjing mereka yang biasanya.
–Kita seperti pengantin baru,
ya tuhan!
Begitulah pikir Saito, tapi memang
sebenarnya mereka adalah pengantin baru.
Untuk seseorang yang tidak
begitu berpengalaman dengan cinta, Saito tidak tahu bagaimana caranya menanggapi
suasana yang manis ini.
"….Selamat pagi."
Pertama-tama, untuk benar-benar
menyegarkan diri sepenuhnya, dia pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka. Dia
memiliki perasaan samar bahwa dia akan kehilangan dirinya sendiri jika dia
terus tinggal di tempat tidur seperti ini.
Saito menyalakan keran, lalu
dia menampar wajahnya sendiri dengan air dingin. Melihat wajahnya yang masih
mengantuk di cermin, dia menggunakan tangannya untuk menampar wajahnya lagi,
tetapi dia masih tidak bisa memperbaiki ekspresinya yang mengantuk.
“Kya—–!?”
"Ada apa!?"
Sesaat mendengar teriakan keras
tersebut, Saito langsung melesat ke dapur.
Akane sedang mengenakan celemek
dan dia memegang penanak nasi, dengan air mata berlinang dan tangannya gemetar.
“Nasinya… belum matang… Aku
lupa mengatur waktunya…”
“Tahan dulu. Aku memilki cake
dan roti, tapi tidak ada yang lain lagi.”
“Itu… aku tidak berhati-hati
sehingga cake nya juga terbakar…”
Rotinya itu terbakar karena
diletakkan langsung di atas kompor gas.
"Harusnya tidak seburuk
itu, kan!"
Saito berencana mengambil roti
dan menaruhnya di wastafel untuk memadamkannya, tetapi apinya terlalu besar
sehingga dia tidak bisa menahannya.
Dan entah bagaimana jamur atau
rebung yang berada di sekitar cake tersebut juga ikut terbakar. Festival
macam apa yang sedang diadakan di sini?
Saito mengambil panci kosong dari
rak dan membalikannya di atas kue yang terbakar.
Api berhasil dipadamkan, namun
asap menyebar ke seluruh dapur. Keduanya terbatuk bersama-sama.
"Apa yang salah denganmu?
Kamu bertingkah aneh sejak pagi! ”
“Bukankah Saito juga bertingkah
aneh? Kamu tidak mengenakan pakaian apa pun! ”
“Apa yang kamu bicarakan,
bagaimana aku bisa berjalan-jalan di sekitar rumah tanpa mengenakan pakaian…”
Saito melihat ke bawah pada
tubuhnya dan sadar bahwa bagian atas tubuhnya benar-benar telanjang. Dan
ajaibnya adalah dia hanya mengenakan dasi di lehernya, membuat dirinya terlihat
semakin aneh.
“Pertama-tama… mari kita tunda
sarapan. Kita berdua bertingkah aneh hari ini, jadi ada kemungkinan besar kita
akan membakar seluruh rumah.”
Akane mengangguk dengan
sungguh-sungguh.
“Itu benar… aku tidak sengaja
mengoleskan mentega ke pakaianku saat aku mencoba menyetrikanya…”
“Tolong tenang!”
Akane bertingkah sangat aneh
untuk seseorang yang biasanya sangat serius.
Dia menghubungkan selang ke
keran dan mulai menyemprotkan air ke kompor gas.
"Apa yang sedang kamu
lakukan!"
“Memadamkan api.”
“Apinya sudah padam berjam-jam
yang lalu! Kamu hanya akan membanjiri dapur!”
"Walaupun begitu. Aku tidak
akan mengubah apa yang kulakukan.”
Akane berkata dengan ekspresi
pantang menyerah.
“Lebih baik jika kamu tidak
melakukan apa-apa untuk saat ini! Tetap diam di sini.”
Saito membawa Akane ke ruang
tamu dan menyuruhnya duduk.
"Tidak sopan memberitahuku
seperti ini ..."
Akane cemberut dan memeluk
lututnya, tapi anehnya, dia dengan patuh tetap diam.
Menyadari bahwa dia telah
bekerja keras di pagi buta seperti ini, Saito dengan cepat membersihkan dapur.
Dia meletakkan roti panggang yang sudah terbakar dan basah ke dalam kantong
sampah, serta mengeringkan kompor dan wastafel yang basah.
Pada saat dia selesai, sudah
waktunya untuk pergi sekolah.
Saito dan Akane memegang tas
sekolah mereka, dan untuk memastikan, mereka memeriksa seragam satu sama lain.
"Tidak ada apa-apa,
seragammu baik-baik saja."
“Kamu juga.”
“Kenapa kita harus melakukan
ini…”
“Mau bagaimana lagi ketika kita
berdua mengantuk seperti ini, tidak ad acara lain.”
Namun, Saito merasa itu mungkin
tidak ada hubungannya dengan kantuk.
Karena tidak ada waktu untuk
bertengkar/(berdebat), jadi mereka buru-buru meninggalkan rumah.
Saat melewati toko serba ada,
Akane melambat. Dia melihat poster yang tergantung di dinding-ding dengan penuh
nafus. Rupanya yang tergambar di poster tersebut adalah sebuah cake
strawberry terbaru.
"Apakah kamu lapar?"
"Ya…. Tapi, tidak ada
waktu untuk membelinya dan memakannya.”
“Kamu tidak bisa berkonsentrasi
ketika belajar tanpa sarapan, kan?”
Mengabaikan usaha Akane yang mencoba
menghentikannya, Saito kemudian berlari ke toko terdekat.
Dia mengambil kue stroberi dan
jus sayuran, dia dengan buru-buru membayar lalu meninggalkan toko tersebut. Itu
tidak mahal, dan itu 3 kali lebih besar dari gateau normal.
"Aku tidak bisa memakannya
jika sebesar ini!"
Akane melebarkan matanya. Itu
tampak jauh lebih besar daripada yang diiklankan.
"Kalau begitu, mari kita
bagi dua?"
Saito membagi kue itu menjadi
dua dan memberikannya kepada Akane.
"Setengah…"
“… Krimnya seperti krim buatan.
Sama sekali tidak terlihat seperti stroberi. Sepertinya pabrik pembuatnya tidak
menyukai stroberi.”
"Jika kamu punya waktu
untuk mengatakan sesuatu yang tidak berguna, biarkan aku memakannya."
Saat Saito hendak mengambilnya,
Akane pergi menjauh dari Akane.
“Yang ini milikku! Aku tidak
akan memberikannya padamu bahkan hanya untuk satu gigitan, Saito!”
"Tapi akulah yang
membelinya!"
“Ini milikku ketika kamu
memberikannya kepadaku. Kamu tidak berhak mengambilnya kembali.”
Akane memakan kue itu dengan
antusias. Meskipun dia menggerutu, dia tampaknya menikmati setiap gigitan.
Sambil berjalan berdampingan
dengan Akane, Saito juga sedang memakan kuenya.
"Begitu? Itu tidak terlalu
bagus kan?”
"Itu pasti tidak."
Namun, itu tidak terlalu buruk.
Berbagi kue murahan, dan mengkritiknya sambil berjalan bersama bukanlah hal
yang buruk.
Saat keduanya sedang berjalan
menuju sekolah,
"Hmm? Saito-kun? Akane?”
Mereka terkejut ketika
mendengar suara tersebut. Himari dengan rambut pirang panjangnya yang menawan
berlari ke arah mereka.
“”——————–!?””
Baik Saito maupun Akane
membeku.
“Jarang sekali~ melihat kalian
berdua bersama di luar sekolah seperti ini. Apakah kalian berdua pergi ke
sekolah bersama? Ada apa, ada apa~?”
Matanya yang polos menatap
mereka dengan penuh tanya.
-Ini buruk…!
Ini adalah kesalahan yang fatal.
Saito bisa merasakan keringat dinginnya keluar dari Sebagian hidupnya mengalir
keluar.
Karena dia buru-buru pagi ini
dan karena ribuan sekrup di otaknya melonggar, dia benar-benar lupa untuk pergi
ke sekolah lebih lambat dari Akane. Dia selalu berhati-hati tentang ini, tetapi
itu semua tidak ada artinya untuk hari ini.
Melihat kesampingnya, wajah
Akane juga pucat. Dia seperti putri duyung yang terdampar di darat, panikk.
Setiap kali Akane didorong ke titik ini, dia selalu bertindak berbahaya.
“Ya, tidak mungkin kita pergi
ke sekolah bersama! Sa, Sa, Saito yang menguntit di belakangku! Tolong panggilkan
polisi untukku! ”
"Tahan."
Terdakwa, Saito, menyuarakan
keberatannya.
Himari memiringkan kepalanya.
“Saito tidak terlihat seperti
sedang menguntit~… Kalian berdua berbicara satu sama lain dengan gembira, dan
bahkan berbagi kue satu sama lain.”
“Kuh~….”
Akane mengeluarkan Bahasa yang
tidak dapa dimengertinya sama sekali. Satu-satunya hal yang dia/(Saito) tahu
adalah bahwa dia/(Akane) telah menerima beberapa kerusakan mental yang berat.
“Ini, ini, ini, adalah,…”
Akane tenggelam dalam
pikirannya. Kekuatan pemrosesan otaknya jauh lebih cepat daripada bagian tubuhnya
yang lain. Dia hanya bisa mengatur beberapa ocehan yang tidak jelas, matanya
melihat ke sekeliling, dan tangannya gemetar.
“Itu, itu benar! Ini, ini hanya
sisa makananku yang telah ku buang, lalu Saito mengambilnya kembali dan
memakannya!”
“Saito-kun…?”
Himari menatap Saito dengan
perhatian di matanya.
"Aku bukan anjing."
“Benar, Saito bukan anjing….
Dia hanya menikmati hal-hal seperti itu… Setiap kali aku membuang sesuatu,
dorongannya mengambil alih.”
"Bisakah aku menuntutmu
karena fitnah?"
Saito kecewa. Seolah-olah
saat-saat damai mereka bersama hanyalah ilusi.
Himari mengernyitkan dahi
Akane.
“Oi~”
“Hya~!? A, apa yang kamu
lakukan ..."
Akane memegang dahinya dengan
mata berkaca-kaca.
– Dia akan memarahi gadis ini
sebagai sahabatnya karena menjelek-jelekkanku? Itu bagus, jujurlah secara
brutal.
Saito sangat menantikannya,
namun..
“Kamu tidak bisa membuang
makanan di jalan seperti ini. Kamu harus menghabiskan makananmu. Kalau tidak,
gagak, anjing liar, atau Saito-kun akan mengambilnya.”
"Maafkan aku."
Akane berdiri dengan linglung.
-Itu bukanlah apa yang kumaksud!
Saito ingin membalasnya untuk
membela diri, tapi mereka berhasil mengubah topik pembicaraan dari ketika mereka
berjalan bersama, jadi dia menahannya.
Berkat usaha mereka berdua,
kehidupan mereka berdua bertahap menjadi lebih baik.
Mereka secara teratur pergi
berbelanja bersama membagi tugas dengan baik, dan bahkan menghabiskan waktu
bersantai bersama, ketegangan diantara mereka berdua pun mereda.
Meskipun mereka tidak bisa
sepenuhnya berhenti bertengkar, pertarungan sengit yang sering mereka lakukan
pun seiring waktu mereda, dan mereka berhasil menikmati kehidupan menyenangkan diluar
imajinasi mereka.
Dan berkat itu, Saito bisa
melihat sesuat.
Hal itu adalah ekspresi, jalan
pikir, dan keahlian/(usaha) Akane, sesuatu yang tidak dapat dilihatnya ketika
mereka bertengkar di medan perang tersebut.
Hal lain yang dia sadari adalah
keyakinannya.
Ketika Akane tidak datang ke kamar
setelah lewat waktu tengah malam, kemungkinan besar dia sedang menghabiskan
waktunya di ruang pribadinya. Pada waktu itu, pintu ruang pribadinya selalu
dikunci, tapi mala mini pintu itu terbuka sedikit, cahaya memancar ke lorong melalui
ambang pintu.
“Ini sudah larut. Apa yang
sedang kamu lakukan?"
Saito mengintip ke dalam.
Ruangan itu dulunya dipenuhi
dengan bau kayu seperti semua ruangan lainnya di rumah, tetapi sekarang ruangan
ini dipenuhi dengan aroma yang manis dan feminim. Buku referensi dan
ensiklopedia tebal terjajar rapi di mejanya, dan bahkan dihiasi dengan boneka teddy
bear.
Akane berbalik untuk melihatnya.
“Belajar. Kita memiliki kuis yang
akan datang minggu depan, jadi aku ingin mempelajari ulang semua topik yang
akan kita bahas dalam ujian.”
Saito mengangkat bahu.
“Ini hanya kuis, tidak ada
gunanya belajar. Kamu harus menyimpan upayamu untuk ujian sebenarnya yang akan
datang.”
"Begitulah katamu, tapi
kamu selalu mendapatkan nilai sempurna untuk kuis-kuis itu."
“Aku hanya mengerjakan kuis
seperti biasa, aku tidak belajar ulang mengenai apapun.”
“Urghhh… Bagaimana kamu bisa
mendapatkan 100 dengan begitu mudah…”
Akane mengepalkan tangannya.
“Aku selalu ingat apa yang diajarkan
di kelas. Sebenarnya lebih sulit bagiku untuk melupakannya.”
“Apakah kamu mengejekku? Kamu
ingin mengatakan bahwa seseorang yang menghabiskan upaya dalam belajar sepertiku
itu bodoh, kan? ”
“Aku tidak mengatakan itu… Tapi
kelihatannya sulit ya.”
Saito ingin memberi
penghormatan atas usahanya, tapi itu memiliki efek sebaliknya.
“…..~~!! Keluar sekarang!
Jangan ganggu aku!”
Akane melempar boneka beruang
itu untuk mengusir Saito.
Saito berpikir "omong
kosong" sambil berjalan keluar dari ruangan. Dia lengah karena hubungan
mereka jauh lebih baik baru-baru ini. Tapi sepertinya dia menginjak ranjau
darat Akane di suatu tempat.
Pintu kamarnya dibanting
tertutup, dan suara kuncian bisa terdengar. Jika dia tidak melakukan apa-apa,
suasana besok pasti akan lebih suram/(tak tertahankan).
–Aku harus melakukan
sesuatu…Pasti ada cara untuk meningkatkan mood Akane….
Lebih mudah diucapkan daripada
dilakukan. Jika dia tahu seperti itu, dia tidak akan bertarung dengannya selama
2 tahun berturut-turut. Jalan menuju hati Akane jauh lebih berat daripada
beberapa pembelajaran sederhana.
Saat Saito sedang merenung, dia
tiba-tiba teringat stroberi yang baru saja dia beli.
Dia mengkonfirmasinya dengan
membuka lemari es.
Semua stroberi masih ada di
sana. Mungkin tidak apa-apa untuk memberikan ini padanya, tetapi ada
kemungkinan besar dia akan mengatakan “Jika kamu ingin makan, persiapkanlah
sendiri”.
Akan lebih baik jika dia
membuatnya lebih rapi. Akane paling suka cake dengan krim stroberi, jadi
dia harus membuat sesuatu yang seperti itu.
Ada beberapa roti di lemari.
Saito mengira dia bisa menggunakan roti di lemari dengan krim kocok dan
stroberi untuk membuat sandwich stroberi, tapi tidak ada krim kocok di lemari
es.
–Apakah mungkin mengganti krim
dengan protein kocok?
Saito mendapatkan ide cemerlang.
Namun, Suara marah Akane yang
berkata “Berhenti” segera bergema dikepalanya, jadi dia memasukkan protein
shake kembali ke dalam lemari. Setelah dipikir-pikir kembali, protein cenderung
menggumpal sehingga sulit untuk menciptakan kembali tekstur krim yang halus di
mulut.
Dia membuka kulkas lagi untuk
mencari-cari sesuatu, dan menemukan yogurt hambar. Warna dan teksturnya sesuai
dengan apa yang dibutuhkannya, sehingga sangat ideal sebagai pengganti krim.
Sebenarnya, ada beberapa krim asam dalam kehidupan nyata yang dibuat dengan
membiarkan krim difermentasi dengan asam laktat.
Saito menuangkan yogurt ke
dalam mangkuk besar, menambahkan banyak gula, dan mengaduknya hingga menebal.
Kemudian, dia mengoleskannya ke atas irisan roti dan menaruh potongan stroberi
ke atasnya.
Dia meletakkan sandwich yang
sudah jadi di piring, dan berencana untuk menghiasnya dengan daun mint, tetapi…
tidak. Tidak ada daun lain yang dapat dijadikan dekorasi. Ya, hanya ada parsley.
Karena dia tidak memiliki pilihan
lain jadi Saito menaruh beberapa parsley di atas sandwich. Hijau dari daun
parsley, putih dari krim yogurt dan roti, serta merah dari stroberi
bercampur menjadi satu, membuatnya terlihat sangat lezat.
Saito puas dengan ciptaannya,
dan dia membawa sandwich-nya ke kamar Akane.
Ada papan kayu yang terlihat
lucu dengan tulisan “Kamar Akane” tergantung di luar pintu, tapi tidak ada yang
lucu dari itu karena terus-menerus dibanting. Tidaklah aneh untuk mengatakan
ada raja iblis yang tinggal di dalam sini.
Setelah menghela nafas panjang,
Saito mengetuk pintu kamar-nya.
"Apa?"
Kelihatannya Akane masih belum
bisa tenang karena kejadian tadi, jadi dia menjawab dengan suara singkat.
"Aku membuatkanmu camilan
tengah malam, bagaimana kalau kamu memakannya sambil belajar?"
“Camilan tengah malam…?”
Pintu terbuka sedikit dan Akane
menunjukkan wajahnya.
Ada sedikit kemungkinan dia
akan kesal dan berkata 'Aku tidak mau, jadi berhentilah membuang-buang
stroberi!'. Dan jika itu terjadi, hubungan mereka akan menjadi jauh lebih
tegang.
Saito dengan cemas menyajikan
hidangan itu padanya.
“Sandwich stroberi!!”
Mata Akane berkilauan seperti
bintang.
Bagus, sepertinya dia
menyukainya. Dan itu membuat Saito lega.
“Kenapa, kenapa kamu membuat
ini untukku…? Apakah kamu memiliki motif tersembunyi…?”
“Aku tidak memiliki rencan
apapun, tidak ada apa-apa.”
“Pasti kamu memasukkan sesuatu
di sini. Jika tidak, Kamu tidak akan pernah melakukan hal seperti ini, terutama
setelah pertengkaran.”
Akane tiba-tiba berseru.
"Aku tahu! Kamu menaruh
beberapa obat tidur di sandwich ini bukan? Kamu membuatku tidur agar aku bisa
mendapat nilai 0 untuk besok, bukan?
"Aku tidak memasukkan apa
pun. Namun, jika kamu pikir kamu akan mendapatkan nol hanya karena kamu tidak
belajar, maka kamu harus mempertimbangkan kembali pelajaranmu di kelas."
Akane menatap sandwich tersebut
dengan penuh kecurigaan.
"Lalu…? Apakah ini semacam
sampel, dan jika aku menggigitnya apakah gigiku akan rontok..? Kamu ingin
menghancurkan hatiku bersamaan dengan rahangku dengan mencoba memakan sesuatu
yang aku suka…?”
“Aku tidak mau melakukan
hal-hal yang menyusahkan seperti itu. Ini hanya sandwich stroberi biasa. Makanlah."
“Kya~”
Saito menyerahkan piring itu
seolah-olah membuangnya, dan Akane buru-buru menangkapnya. Tidak peduli betapa
curiganya dia terhadap hidangan itu, dia adalah orang yang serius, yang tidak
akan membuang makanan apa pun yang terjadi.
“Baiklah. Jika kamu tidak
menginginkannya, buang saja. ”
“T, tunggu! Jangan tinggalkan ini
atas kemauanmu sendiri.”
Saito meninggalkan ruangan dan juga
keluhan Akane di belakangnya dan berjalan pergi.
Akhirnya, Akane bisa
melanjutkan studinya setelah pria bermasalah itu pergi. Dia mencatat ruang
lingkup kuis di buku catatannya, menghafalnya, menyusunnya kembali di kepalanya
dan mencetaknya dalam-dalam agar tidak melupakannya.
Dia tidak bisa memaafkan siapa
pun yang tidak belajar dengan serius. Dia harus mengalahkan pria acuh tak acuh
yang bahkan tidak belajar untuk mengisi sebuah kuis – Saito.
Namun, dia tidak bisa
berkonsentrasi sama sekali.
Dia meletakkan piring sandwich
di atas meja karena dia tidak tega membuangnya. Dia terus meliriknya dari waktu
ke waktu, jadi dia secara tidak sadar meninggalkan buku catatannya.
–Kelihatannya sangat enak…
Akane menelan ludah.
Tapi, itu aneh. Dengan betapa
dinginnya dia memperlakukan Saito, dia masih membuatkannya camilan tengah
malam. Kebaikan itu sepertinya tidak masuk akal baginya.
Atau, dia menargetkan
kecurigaannya, dan membiarkan rasa lapar menyerangnya. Secara psikologis tidak
mungkin seseorang dapat bertahan untuk tidak memakan makanan favoritnya yang
berada tepat di sebelah dirinya sendiri. Jika itu rencananya, Saito adalah
seorang perencana yang licik.
–Hanya, hanya sedikit. Tidak
apa-apa jika itu hanya gigitan kecil kan …?
Akane dengan hati-hati
menggigit sandwich.
Krim dingin dan asam, dan
stroberi berair berputar-putar di mulutnya.
Dicampur dengan kelembutan
roti, menciptakan rasa segar langsung ke tenggorokannya.
"….Sangat enak."
Akane berbisik, tidak percaya.
Dia tidak bisa merasakan efek
obat tidur, atau protein kocok apa pun di dalamnya. Ini adalah camilan tengah
malam yang benar-benar normal, dibuat dengan perhatian Saito tentang preferensi
Akane.
Bagaimana jika ini adalah
sesuatu yang dia buat setelah menyesali pertengkaran mereka, dan dia ingin
memberikannya sandwich ini untuk menebusnya?
Ketika dia memikirkannya
seperti itu, Akane merasakan perasaan yang tidak nyaman di dadanya. Itu hangat
dan sedikit geli, membuatnya tidak bisa tenang ... namun, itu bukan perasaan
yang buruk.
"Jika, jika seperti ini, aku
tidak akan memberimu belas kasihan dalam tes yang akan datang."
Dengan pipi yang memerah dan
panas, Akane memakan sandwichnya.
Lezat.
Dengan energinya yang terisi
kembali, motivasinya membara.
Motivasinya meningkat lebih
tinggi dari sebelumnya.
— Aku harus berusaha keras
sampai pagi!
Akane sekali lagi meraih
penanya dan menghadap kembali ke buku catatannya.
Akane tiba-tiba kehilangan
kesadarannya saat dia sedang berjalan di lorong.
“Akane!? Apa kamu baik baik
saja?"
Akane mendengar sebuah suara,
dan menyadari bahwa dia sedang dipeluk oleh Himari.
“Ah… aku tertidur sebentar.”
“Apa maksudmu tertidur! Tertidur
sambal berjalan itu berbahaya!.”
Himari bisa merasakan keringat
dinginnya.
"Maaf. Lain kali jika aku
merasa mengantuk, aku akan duduk dulu.”
“Pingsan sambil duduk juga
tidak ada artinya… Akane selalu terlihat aneh akhir-akhir ini. Dan wajahmu juga
sedikit pucat, apa kamu baik-baik saja?”
"Aku begadang setiap hari
untuk belajar jadi aku tidak cukup tidur, itu saja."
Himari membawa Akane ke
kafetaria.
Ada banyak siswa di kantin hari
ini. Biasanya, Akane tidak pernah ke kantin, tapi tidak ada pilihan lain hari
ini karena dia tidak punya waktu untuk menyiapkan bento.
Keduanya mengambil nampan
mereka dan berdiri dalam antrean.
“Kamu harusnya membatasi waktu
belajarmu~? Jika tidak, kamu hanya akan pingsan dan sakit.”
"Bahkan jika tubuhku
hancur, itu harga yang pantas untuk dibayar untuk mendapatkan peringkat 1
teratas ..."
“Itu tidak baik-baik sama
sekali! Tubuh Akane lebih penting dari pencapaian tersebut! Dan bagaimanapun
juga, kamu bukanlah lawan Saito~!”
Akane mengerutkan alisnya.
“Bukan… Lawan Saito…?”
“Ah~”
Himari menutup mulutnya.
“Aku pasti akan menang melawan
Saito! Bahkan jika itu membutuhkan waktu ratusan, tidak, ribuan tahun. Aku
pasti akan membuatnya mengalami kekalahan telak melawanku dan mmebuatnya menerima
bahwa aku ada di atasnya!.”
“Bahkan jika kamu berlatih
ratusan tahun pun, kamu akan lulus terlebih dahulu~… Kamu hanya memiliki satu
tahun sekolah menengah yang tersisa… Katakanlah kamu tidak akan bisa
mengalahkannya sebelum itu, maukah kamu mengejar Saito ke universitas?”
“Aku, aku tidak mengejar siapa
pun! Jika aku melakukan itu, bukankah itu sama saja bahwa aku memiliki perasaan
untuknya?
Pipi Akane terasa panas. Dia
juga merasa sulit bernafas, apakah karena kantin terlalu ramai?
Himari memesan omurice,
sementara Akane memesan cake stroberi. Kemudian mereka mencari tempat
duduk yang tersedia.
Saito dan Shisei sedang duduk
di dekat pintu masuk. Mereka berdua benar-benar dekat. Suasana dan bahkan
penampilan mereka mirip satu sama lain, jadi akan lebih mudah untuk mengira
mereka sebagai saudara kandung daripada sepupu. Saito menghentikan Shisei ketika
dia/(Shisei) mencoba memotong steak dengan tangan kosongnya.
“Saito dan Shisei duduk di
sana~. Ayo kita makan bersama mereka!"
“Tidak, kita tidak bisa!”
"Mengapa?"
“Pokoknya jangan kesana!”
Interaksi Akane dan Saito
baru-baru ini terlalu mencurigakan, bahkan hal tersebut membuat Himari curiga.
Jika mereka duduk di meja yang sama, satu kesalahan dapat membuat Himari
mencari tahu kebenarannya.
Fakta bahwa dia menikahi
seorang anak laki-laki di kelas yang sama, dan bahkan tidur dengannya di
ranjang yang sama setiap malam perlu dirahasiakan. Jika Himari mengetahuinya,
dia pasti akan kecewa. Akane tidak ingin kehilangan satu-satunya sahabatnya.
Akane dan Himari mencari tempat
duduk lain yang kosong seperti Saito dan yang lainnya.
Cake di piringnya dipanggang dengan
baik. Ada banyak krim dan cokelat yang dekoratif. Akane menyukai kesempurnaan
kue yang tampak tidak terduga untuk sebuah menu di kafeteria.
Namun ... Dia tidak
menikmatinya sebanyak yang dia lakukan sebelumnya. Setiap kali dia memikirkan
camilan tengah malam Saito, itu beberapa kali lebih enak.
“Akane sangat mengagumkan~”
“Eh? Untuk apa?"
“Jika itu saya, saya tidak
tahan belajar setiap hari. Bahkan aku tahu bahwa aku harus lebih fokus belajar
karena nilaiku selalu di bawah rata-rata. Tapi aku selalu kehilangan fokus
karena video acak ynag muncul di smartphone-ku.”
Akane meletakkan garpunya di
piring.
“Erm, aku tidak terlalu suka
belajar. Juga… Ada seseorang yang mendukungku kali ini”
“Siapa siapa~! Apakah itu
seorang pria? Apa kau sudah mendapatkan pacar?”
Himari bersandar di atas meja
dengan mata berbinar. Dia sangat tertarik dengan cerita seperti ini.
Akane menyadari dia menambahkan
beberapa kata yang tidak perlu.
“Aku, bukan seperti itu! Orang
itu baru saja membuatkanku camilan tengah malam saat aku sedang belajar.”
"Ibumu?"
"Itu bukan ibuku."
“Lalu ayahmu?”
“Ayahku tidak bisa memasak.”
Himari meletakkan tangannya di
dagunya, meniru pose seorang detektif legendaris.
“Bukan cowok, bukan orang
tuamu, tapi rela membuatkanmu snack tengah malam sebagai bentuk penyemangat…?”
Kemudian, dia mengarahkan jari
telunjuknya ke udara.
"Aku tahu! Pelakunya
adalah Nona pembantu!”
“Tebakan yang bagus Ya, itu
adalah maid-san yang ku sewa untuk sepenuhnya mendukungku dalam studi-ku. ”
Akane mengendurkan bahunya dan
tertawa.
“Mou~, kau menggodaku kan~.
Kamu tidak bisa menggodaku hanya karena aku bodoh, oke?~”
"Aku tidak
menggodamu."
“Kalau begitu katakan padaku~
Akane~”
Himari mengguncang lengan
Akane.
–Aku tidak menyangka Saito akan
menjadi orang yang mendukungku seperti ini.
Memikirkan kembali tentang itu,
Akane menjadi bingung. Dia tidak pernah membayangkan ini, mengingat
interaksinya dengan dirinya hanyalah terdiri dari argumen dan pertengkaran.
Untuk tidak menyia-nyiakan
usaha Saito karena telah mendukungnya, dia benar-benar akan mengalahkan Saito
dalam tes ini.
Itulah sumpah yang Akane
lakukan pada dirinya sendiri.
Akane terus belajar sampai
lewat tengah malam. Akane ambruk di tempat tidur, ketika membangunkan Saito. Dan
ketika dia memeriksa jam, waktu sudah menunjukkan jam 3 pagi. Dia melakukannya
terus menerus, berulang kali.
Saito berpikir bahwa jika dia
terus menumpuk rasa lelahnya, kemampuan akademik nya akan menurun, tetapi akan
mudah jika dia mau mendengarkan nasihatnya.
Malam ini, dia juga menyiapkan
sandwich stroberi untuk Akane.
Dia mengetuk pintu, tetapi
tidak ada reaksi sama sekali.
"Aku membawa makanan
ringan."
Saito memanggil sambil membuka
pintu.
Akane tertidur di atas meja,
tanpa ada tanda-tanda akan bangun.
"Apa kau tertidur? Jika
ya, berbaringlah dengan benar…”
Ketika dia mendekat, dia
melihat bahwa penampilan Akane sangat aneh.
Dia tertidur tetapi dia
bernapas dengan tidak teratur, setiap napasnya terlihat menyakitkan, dan juga bahunya
naik turun (tidak tenang).
Keningnya basah oleh keringat. Bahkan
beberapa keringatnya sampai menetes ke kursi.
“….Apakah kamu merasa tidak
sehat?”
“Tidak apa-apa… aku baik-baik
saja… aku hanya istirahat sebentar…”
Suaranya terdengar lelah.
Saito meletakkan tangannya di
dahi Akane. Akane tidak mendorong tangan itu, dan membiarkannya mengukur suhu
tubuhnya. Dahinya benar-benar sangat panas (sehingga terasa membakar tangannya).
"Demammu sangat tinggi...
Tidurlah malam ini."
“Eh, oke…”
Dia tidak memiliki kekuatan
untuk menjawab (ataupun berdebat), jadi dia dengan patuh menuruti Saito.
Dia langsung jatuh ke tempat
tidur setelah Saito membawanya ke kamar.
Kepalanya diletakkan di atas
bantal, dan badannya terentang. Meskipun dia biasanya bertindak keras, namun sekarang
dia menghembuskan napas yang terlihat berat.
Saito menutupi Akane dengan
futon.
Dia pergi ke ruang tamu untuk
mengambil termometer dari kotak P3K.
"Akan lebih baik jika aku
memeriksa suhu-mu."
“……………….”
Meskipun berada di depan Saito,
Akane mencoba membuka kancing piyamanya.
Namun, dia tidak memiliki
kekuatan untuk melakukannya.
"Buka mulutmu."
Mendengarkan kata-kata Saito,
Akane sedikit membuka mulutnya.
Saito dengan lembut meletakkan
termometer di celah di antara bibirnya yang mengeluarkan beberapa napas lemah.
Akane bahkan tidak memiliki
kekuatan untuk memegang termometer dengan benar sehingga Saito memegang thermometer
tersebut untuknya. Setelah beberapa saat, thermometer menunjukkan angka yang
lebih tinggi dari 40 derajat.
“40 derajat itu tunggu… Beri
aku waktu sebentar.”
Saito menemukan stiker penurun
demam dan beberapa obat penurun demam dari kotak P3K. Dia kemudian menempelkan
stiker penurun demam di dahi Akane. Kemudian dia pergi untuk mengambil air.
Dia terlalu lemah untuk minum
obat, jadi dia mendukungnya untuk duduk, lalu memasukkan obat ke mulutnya.
Jari-jarinya menyentuh lidahnya dan akibatnya sedikit basah.
Saito memegang cangkir di mulut
Akane dan membiarkannya minum air. Sulit untuk membiarkannya meminum semuanya
sehingga dia secara bertahap menuangkan air melalui celah-celah di bibirnya.
“Haa~…haa~…..haa….”
Tampaknya bahkan minum air
terlalu melelahkan bagi Akane, saat dia bersandar pada Saito dan bernapas
dengan berat. Tingkat ketidakberdayaan ini tidak biasa.
“Seluruh tubuhku berkeringat…
tidak nyaman.”
Tengkuk Akane basah kuyup,
piyamanya juga basah oleh keringat. Jika dia dibiarkan seperti ini, dia juga
akan masuk angin dan memburuk.
Saito membasahi handuk di kamar
mandi, dan kembali ke kamar tidur.
"Aku akan membantu menyeka
tubuhmu."
"Baik."
Mata Akane sekarang tidak
fokus. Dia menanggalkan piyamanya, pinggang rampingnya yang telanjang terlihat
sepenuhnya, lalu bra-nya juga terlihat.
"Tunggu tunggu tunggu,
kamu tidak perlu melepasnya."
Saito buru-buru
menghentikannya. Meskipun akan lebih mudah untuk menyekanya tanpa busana,
ketika Akane sepenuhnya sadar kembali, entah apa yang akan Akane lakukan
padanya/(pada Saito).
Saito menggunakan handuk basah
untuk menyeka tengkuk Akane.
“Eh~…”
Akane mengeluarkan suara yang
nyaman.
Saito juga menggunakan handuk
untuk menyeka keringat dari wajahnya. Dia menggulung lengan bajunya untuk
menyeka lengannya. Dia memasukkan handuk ke dalam piyamanya dan menyeka perut
dan pinggangnya.
“Mou~…tempat itu…hngg~…”
Saat tangan Saito menyentuh
kulit telanjangnya, Akane mengeluarkan suara geli yang lumayan keras.
Akane yang sekarang tanpa
pertahanan benar-benar bereda dari biasanya.
Tindakan memasukkan tangannya
ke dalam baju seorang gadis membuat jantung Saito berdetak lebih cepat.
Setelah menyeka tubuhnya, Saito
membiarkan Akane tidur di tempat tidur.
Karena demamnya yang
mengerikan, Akane tidak bisa tidur.
Sudah larut malam, tapi Saito enggan
untuk tidur. Dia tidak berpengalaman dengan demam lebih dari 40 derajat seperti
ini. Jika itu serius, dia tidak bisa tetap tenang.
–Kenapa aku begitu khawatir…..?
Bahkan Saito sendiri terkejut.
Gadis ini adalah musuh
bebuyutannya, seseorang yang akan membuatnya marah hanya dengan bertemu
dengannya di sekolah.
Dia selalu kasar, bisa mengubah
segalanya menjadi suatau provokasi atau kompetisi, tanpa sedikit pun kejujuran.
Atau begitulah yang dia pikirkan.
Tapi sekarang, Saito berada di
ruangan yang tenang ini, mengawasi gadis ini di tempat tidur. Tidak seperti
dirinya yang biasanya, dia merawatnya dengan hati-hati.
Akane berbisik kesal.
“Belajar… aku harus belajar,
tapi…”
“Itu karena kamu terlalu banyak
belajar sehingga kamu jatuh sakit seperti ini. Kamu selalu begadang, tidak baik
jika kamu mencoba terlalu keras.”
Saito terkejut. Sejak hari
mereka tinggal bersama, dia belum pernah melihat Akane berpaling dari studinya.
"Bahkan jika itu tidak ada
gunanya ... aku punya mimpi yang harus aku capai apa pun yang terjadi."
"Mimpi?" tanya Saito.
Akane berkata dengan suara
lemah.
"Aku… ingin menjadi
seorang dokter. Seseorang yang dapat membantu orang lain ketika mereka terluka.
Aku membenci diriku sendiri yang tidak bisa berbuat apa-apa. Aku ingin semua
orang yang kucintai selalu sehat.”
Ini mungkin pikirannya yang
jujur, tanpa satu kebohongan dan tipu daya.
Saito dengan sabar menyaksikan
Akane berbicara.
“Tetapi, keluargaku tidak cukup
kaya untuk membiayaiku masuk kedalam kuliah/(pelajaran) kedokteran. Dan aku
diberitahu bahwa jika aku setuju untuk menikahimu, maka semua biaya akan ditanggung/(dilunaskan),
jadi ... "
“Jadi itu sebabnya…”
Mimpi – Orang dewasa pasti akan
menertawakan mimpi yang begitu lemah.
Tetapi bagi Akane, dan bahkan
bagi Saito, sebuah mimpi bahkan bernilai pertaruhan seumur hidup.
Bahkan jika itu akan
mengakibatkan sebagian dari hidup mereka dibatasi, seperti memutuskan pasangan
mereka.
Bahkan jika mereka harus
mengorbankan kebebasan dan romansa, sesuatu yang hampir semua orang berusaha
untuk lindungi.
Saito menikah demi mimpinya.
Akane menikah demi mimpinya.
Mereka berdua pada dasarnya sama.
“Kamu luar biasa. Selalu acuh
tak acuh, tapi tetap mendapatkan nilai bagus. Aku tidak bisa mengalahkanmu
tidak peduli seberapa keras aku mencoba. Hal itu menjengkelkan, tapi aku tidak memiliki
pilihan lain.”
Akane lebih banyak bicara malam
ini, karena demamnya.
"Setiap orang pandai dalam
hal yang berbeda."
“Aku tidak suka itu!”
Tatapannya tidak setajam
biasanya.
Dan dia mengeluarkan beberapa
kata.
“ …Dan, aku juga sedikit
mengagumimu.”
"Mengagumi…..?"
Pada saat itu, Saito benar-benar
tidak bisa memahami apa yang dikatakannya.
Dia tidak berharap dia merasa
seperti itu mengingat dia biasanya membencinya.
Akane tiba-tiba tersentak.
“T, tunggu! Aku tidak merasakan
apa-apa tentangmu bahkan sekarang! Aku jelas tidak mengagumi Anda atau apa pun!
Jika ada, aku benar-benar membencimu!”
Kepanikannya membuat pernyataan
sebelumnya menjadi lebih nyata.
Saito merasakan debaran keras
di jantungnya.
Melihat wajah sebenarnya dari
gadis yang dulu dia anggap sebagai musuh, membuat tubuhnya terasa panas.
Akane terlihat malu, dia
berpaling dari Saito, dan menutupi wajahnya dengan futon.
Kemudian, dia menderita batuk
parah. Setiap tarikan napasnya terdengar menyakitkan.
"Apakah obatnya bekerja?"
"…Tidak tahu."
Saat Saito meletakkan tangannya
di dahinya, Akane menggeliat.
“Ini bahkan lebih panas dari
sebelumnya. Kita harus memanggil ambulans.”
"Berhenti. Jangan membuat seolah-olah
ini adalah hal yang besar. Ambulans disediakan untuk keadaan darurat.”
“Demam 40 derajat harus
memenuhi syarat sebagai keadaan darurat. Kamu harus tahu ini, mengingat kamu
bercita-cita menjadi dokter.”
"Aku tahu ... tetapi jika ada
orang yang lebih sakit meninggal karena diriku, aku tidak akan bisa memaafkan
diriku sendiri."
"Kamu…"
Bahkan ketika dia sakit dan
tidak nyaman, dia masih memikirkan orang asing. Gadis ini mungkin tampak egois
di luar, tapi dia sangat baik hati.
Saito menggunakan
smartphone-nya untuk mencari nomor operator taksi dan menelepon.
Namun, untuk beberapa alasan,
panggilan tidak tersambung.
Sepertinya mereka memiliki
kesulitan untuk membawa penumpang di larut malam seperti ini.
Saito lebih suka mereka
mengantar orang sakit daripada mengantar beberapa orang mabuk.
"Sialan ~, yang ini juga tidak
dapat tersambung!"
Saito buru-buru meletakkan
teleponnya.
Rumah sakit terdekat berjarak
10 menit perjalanan dengan bus. Namun, tidak ada bus yang beroperasi pada jam
tersebut.
Akane berkata.
“Tidak apa-apa, tidur saja.
Kamu masih ada kelas besok.”
"Aku tidak bisa."
“Kya~!?”
Saito mengangkat Akane dari
tempat tidur.
Dia merasa berlatih gendongan
tuan putri bersama Shisei akhirnya bisa sedikit berguna. Dia tidak membayangkan
itu akan efektif pada saat-saat seperti ini.
“K, kamu…. Apa yang sedang kamu
lakukan…"
“Aku tidak bisa mengabaikan
istriku yang sedang kesakitan.”
“….~.I, istri….”
Mata Akane bergetar.
Saito menggendong Akane dan
melesat keluar rumah. Dia bisa merasakan kehangatan Akane di tengah dinginnya
malam. Jika taksi tidak tersedia, satu-satunya pilihan adalah dengan berjalan
kaki.
“Kamu lebih kuat dari yang aku
kira, ya …”
Akane berbisik, dan berpegangan
erat pada Saito.
Saito berlari di sepanjang
jalan kosong yang gelap.
Malam menyelimuti keduanya.
Satu-satunya hal yang bisa dia
dengar adalah langkahnya sendiri dan napas Akane yang kasar.
Tubuhnya lebih ringan dari apa
yang awalnya dia pikirkan.
Lengannya ramping, dan kakinya
lemah.
Seolah-olah dia akan hancur
jika dia jatuh ke tanah, seperti kaca yang ditempa secara khusus.
Dia selalu bertengkar dengan
tubuh mungil miliknya yang seperti ini. Di matanya, dia tampak sangat besar,
murni dari energi dan kekuatan mentalnya yang melimpah.
Tapi kenyataannya adalah...
gadis ini jauh lebih lemah dari biasanya.
Jika dia tidak ditahan seperti
ini, jika dia tidak benar-benar mengawasinya, dia bisa dengan mudah menghilang.
Jiwanya seperti petasan, cerah dan meledak-ledak, tetapi berbahaya.
Saito mengangkat Akane.
“……Itu, pertama kalinya aku
mendengarkanmu berbicara tentang mimpimu.”
“Kamu pasti mengejekku karena
betapa mustahilnya mimpiku.”
“Mengapa aku harus melakukan
itu? Jika itu kamu, aku yakin itu bisa dicapai.”
"Mengapa?"
"Kamu mencoba yang terbaik
untuk apa pun yang kamu lakukan, kan?"
“Ah… ya. Baik. Aku, benci
menyerah di tengah jalan.”
Akane tersenyum dalam pelukannya.
Sampai sekarang, Saito tidak
pernah memberi tahu Akane tentang mimpinya, atau masa depan yang dia bayangkan
tidur di dalam hatinya.
Sejak awal sekolah menengah,
atau mereka hidup bersama, dia tidak mengerti apa-apa tentang Akane. Sesuatu
diletakkan di bawahnya yang bahkan lebih indah dari penampilannya.
Jika dia kehilangan Akane di
sini, semuanya akan berakhir dengan dia berada dalam kegelapan. Jika kamu
kehilangan sebuah buku ketika kamu baru saja membaca halaman pertama dari buku
tersebut, rasa ingin tahu-mu akan membunuh dirimu sendiri.
-Aku ingin tahu lebih banyak.
Tentang Akane.
Itulah yang dirasakan Saito.
Dia menuangkan semua
motivasinya ke kakinya dan berlari.
Dia bisa merasakan udara
menipis ketika sedang dia bernafas, jadi dia membuka mulutnya lebih lebar agra
mendapatkan lebih banyak napas.
Jantungnya berdegup kencang,
paru-parunya sakit seperti mau meledak.
Lengannya mati rasa karena
menggendong Akane, dan kakinya juga sakit.
Tapi Saito tidak melambat.
Sebaliknya, dia tidak bisa.
Dia bahkan memiliki lebih
banyak motivasi, semakin lelah dia tumbuh. Dia memeluk Akane erat-erat dan
menuju ke rumah sakit.
Napas putih Saito menari-nari
di malam yang dingin.
Aku menikahi seorang gadis yang
sangat aku benci.
Bahkan kemudian, meskipun itu
sangat disayangkan.
Tapi yang pasti, suatu hari
nanti, aku akan mengubah pernikahan ini menjadi pernikahan dengan akhir yang
bahagia.