Kurasu no Daikiraina Joshi to Kekkon Suru Koto ni Natta Volume 1 - Chapter 4 (Part 2)

 

Chapter 4 - Istriku (Part 2)

Saito membuka matanya ketika dia masih berbaring di tempat tidur.

Beberapa kilasan kecil cahaya pagi menyelinap melewati tirai jendela, tapi masih agak lama sampai fajar datang, dan dinginnya malam masih terasa.

Saito merasa bingung. Kenapa dia bangun pagi-pagi sekali, pikir Saito sambil mencoba mengambil jam di samping tempat tidur untuk mengecek waktu.

Namun, dia mendapati dirinya tidak bisa bergerak. Ketika dia mengira dia dibatasi oleh alat siksaan atau tidak — tetapi ternyata tidak. Akane sedang tidur sambal memeluk Saito.

– Dan di sinilah dia, mengatakan dia akan mematahkan jariku jika aku menyentuhnya sedikit pun!

Dunia ini tidak adil. Namun, dia tidak marah karenanya.

Dengan hanya lapisan tipis piyama yang membungkusnya, sepertinya dia sedang memiliki mimpi yang indah.

Kaki telanjangnya yang halus melingkari kaki Saito, sementara itu tangannya mencengkeram baju Saito.

Dadanya naik turun mengikuti irama nafasnya yang lembut.

Aroma manis dari kulitnya dikombinasikan dengan aroma yang mirip seperti bunga liar terbang hingga ke hidung Saito.

Kekuatan yang sangat destruktif seperti ini, untuk anak laki-laki dalam masa pubertas sepertinya, hal ini terlalu merangsang. Untuk sesaat, dia benar-benar lupa bahwa gadis ini adalah seseorang yang dia benci.

–Jika aku ingin bergerak…dia, akan bangun kan…?

Hatinya akan merasa bersalah sama seperti dia membangunkan kucing yang tidur di pangkuannya. Dia menguatkan dirinya dan tetap diam.

Wajah tidur Akane sangat imut, seperti seorang Malaikat. Bibirnya setengah terbuka membuat dirinya terlihat sangat polos.

Saito tanpa sadar mengulurkan tangannya untuk menyentuh pipinyayang tak berdaya ynag biasanya tidak akan pernah dia sentuh.

Saat dia menyentuhnya dengan ujung jarinya, Akane membuka matanya.

Dia menatap wajah Saito dengan ekspresi bingung. Sepertinya kesadarannya masih kabur, dan dia mengusap pipinya ke dadanya, seperti seekor kucing.

Itu menggelitiknya baik secara fisik maupun mental, sehingga Saito mengeluarkan suara yang cukup keras.

“O, oi…”

“………!?”

Akane ditarik kembali ke dunia nyata.

Dia mengirim Saito terbang menjauh. Darah mengalir dari wajahnya, dia memeluk bantalnya sebagai ganti perisai.

"K, k, kamu berencana untuk menyerangku?"

“Kamulah yang memelukku atas kemauanmu sendiri!”

"Aku tidak akan pernah melakukan hal seperti itu!"

“Kamu melakukannya! Kau memperlakukanku seperti bantal pelukmu!”

"Aku lebih suka menjadikan landak sebagai bantal pelukku daripada kamu!"

“Jadi kamu ingin ditusuk hidup-hidup!? Aku benar-benar yakin bahw aku tidak melakukan apa pun ketika kamu tidur! Aku hanya diam agar tidak membangunkanmu.”

Saito berusaha keras untuk menjelaskan.

Akane melihat ponselnya, hal ini membuat Saito takut. Akan sangat merepotkan jika dia menelepon polisi sekarang. Pertama-tama, mereka harus menjelaskan mengapa dua siswa sekolah menengah hidup bersama, dan hal itu akan memperumit segalanya.

Ekspresi polos Akane yang sedang tidur sebelumnya sekarang benar-benar tidak dapat dilihat sebagai gantinya dia melihat Saito dengan hati-hati/(waspada).

"Kamu bilang kamu tidak melakukan apa-apa? Pembohong. Bukankah kamu menggunakan kukumu untuk menusuk tulang pipiku?”

"Mengapa aku ingin melakukan sesuatu yang begitu kejam?"

Tulang punggung Saito tiba-tiba menjadi dingin.

"Jadi apa yang kamu lakukan?"

Akane memeluk bantal dengan erat dan menatap lurus ke arah Saito. Ini bukan waktunya untuk bermain bodoh.

Saito menghela napas berat.

“….Wajah tidurmu sangat imut, dan jadi aku melihatnya. Dan juga, aku tidak bisa menahan keinginan untuk menyentuh pipimu. Maaf."

“Apa~…”

Akane tersipu malu.

Dia menyembunyikan wajahnya di balik bantal, dan berbicara dengan suara yang hampir menghilang.

“B, benarkah,…?”

“Aah”

“S, Seberapa imut…?”

"Sampai-sampai seseorang tidak akan tetap waras jika terus melihatnya."

Saito tidak bisa terus bersikeras bahwa dia tidak bersalah jadi dia mengakui semuanya dengan jujur.

Akane gemetar, mungkin karena amarahnya.

Dia mengintip dari bantalnya, dan berbisik.

“…Jika itu hanya sedikit, maka baiklah.”

“Eh?”

“Aku baru saja mengatakannya! Wajah tidurku! Aku bilang kamu bisa melihatnya sebentar saja!”

Akane menjatuhkan diri ke tempat tidur. Dia berbalik menghadap Saito, dan menutup matanya rapat-rapat. Seperti yang dia nyatakan, rupanya dia ingin menunjukkan wajahnya yang sedang tertidur. Konyol, tetapi juga bertanggung jawab atas suatu kesalahan.

Saito berbaring di samping Akane.

Namun suara detak jantungnya membuatnya tidak bisa kembali tidur.

Dan sepertinya Akane juga mengalami masalah yang sama, dia tidak bisa diam. Tampaknya dia merasa khawatir/(tegang).

Suasana di dalam futon terasa sesak, dan tidak ada yang bisa kembali tidur setelah itu. Fajar berangsur-angsur datang.

Tepat ketika mereka akan Kembali tertidur, jam weker berbunyi. Jam berulang beberapa kali sampai 30 menit lebih lambat dari biasanya.

Saito adalah orang yang menghentikan alarm tersebut. Akane, yang tidur di sebelahnya, sedang menarik futon untuk menutupi bahunya. Piyamanya acak-acakan, memperlihatkan tulang selangkanya*.

Note : *tulang yang ada di bawah leher/pundak

“S, selamat pagi…”

Senyum yang terlihat malu-malu.

Suasana yang manis, berlawanan dengan hubungan kucing dan anjing mereka yang biasanya.

–Kita seperti pengantin baru, ya tuhan!

Begitulah pikir Saito, tapi memang sebenarnya mereka adalah pengantin baru.

Untuk seseorang yang tidak begitu berpengalaman dengan cinta, Saito tidak tahu bagaimana caranya menanggapi suasana yang manis ini.

"….Selamat pagi."

Pertama-tama, untuk benar-benar menyegarkan diri sepenuhnya, dia pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka. Dia memiliki perasaan samar bahwa dia akan kehilangan dirinya sendiri jika dia terus tinggal di tempat tidur seperti ini.

Saito menyalakan keran, lalu dia menampar wajahnya sendiri dengan air dingin. Melihat wajahnya yang masih mengantuk di cermin, dia menggunakan tangannya untuk menampar wajahnya lagi, tetapi dia masih tidak bisa memperbaiki ekspresinya yang mengantuk.

“Kya—–!?”

"Ada apa!?"

Sesaat mendengar teriakan keras tersebut, Saito langsung melesat ke dapur.

Akane sedang mengenakan celemek dan dia memegang penanak nasi, dengan air mata berlinang dan tangannya gemetar.

“Nasinya… belum matang… Aku lupa mengatur waktunya…”

“Tahan dulu. Aku memilki cake dan roti, tapi tidak ada yang lain lagi.”

“Itu… aku tidak berhati-hati sehingga cake nya juga terbakar…”

Rotinya itu terbakar karena diletakkan langsung di atas kompor gas.

"Harusnya tidak seburuk itu, kan!"

Saito berencana mengambil roti dan menaruhnya di wastafel untuk memadamkannya, tetapi apinya terlalu besar sehingga dia tidak bisa menahannya.

Dan entah bagaimana jamur atau rebung yang berada di sekitar cake tersebut juga ikut terbakar. Festival macam apa yang sedang diadakan di sini?

Saito mengambil panci kosong dari rak dan membalikannya di atas kue yang terbakar.

Api berhasil dipadamkan, namun asap menyebar ke seluruh dapur. Keduanya terbatuk bersama-sama.

"Apa yang salah denganmu? Kamu bertingkah aneh sejak pagi! ”

“Bukankah Saito juga bertingkah aneh? Kamu tidak mengenakan pakaian apa pun! ”

“Apa yang kamu bicarakan, bagaimana aku bisa berjalan-jalan di sekitar rumah tanpa mengenakan pakaian…”

Saito melihat ke bawah pada tubuhnya dan sadar bahwa bagian atas tubuhnya benar-benar telanjang. Dan ajaibnya adalah dia hanya mengenakan dasi di lehernya, membuat dirinya terlihat semakin aneh.

“Pertama-tama… mari kita tunda sarapan. Kita berdua bertingkah aneh hari ini, jadi ada kemungkinan besar kita akan membakar seluruh rumah.”

Akane mengangguk dengan sungguh-sungguh.

“Itu benar… aku tidak sengaja mengoleskan mentega ke pakaianku saat aku mencoba menyetrikanya…”

“Tolong tenang!”

Akane bertingkah sangat aneh untuk seseorang yang biasanya sangat serius.

Dia menghubungkan selang ke keran dan mulai menyemprotkan air ke kompor gas.

"Apa yang sedang kamu lakukan!"

“Memadamkan api.”

“Apinya sudah padam berjam-jam yang lalu! Kamu hanya akan membanjiri dapur!”

"Walaupun begitu. Aku tidak akan mengubah apa yang kulakukan.”

Akane berkata dengan ekspresi pantang menyerah.

“Lebih baik jika kamu tidak melakukan apa-apa untuk saat ini! Tetap diam di sini.”

Saito membawa Akane ke ruang tamu dan menyuruhnya duduk.

"Tidak sopan memberitahuku seperti ini ..."

Akane cemberut dan memeluk lututnya, tapi anehnya, dia dengan patuh tetap diam.

Menyadari bahwa dia telah bekerja keras di pagi buta seperti ini, Saito dengan cepat membersihkan dapur. Dia meletakkan roti panggang yang sudah terbakar dan basah ke dalam kantong sampah, serta mengeringkan kompor dan wastafel yang basah.

Pada saat dia selesai, sudah waktunya untuk pergi sekolah.

Saito dan Akane memegang tas sekolah mereka, dan untuk memastikan, mereka memeriksa seragam satu sama lain.

"Tidak ada apa-apa, seragammu baik-baik saja."

“Kamu juga.”

“Kenapa kita harus melakukan ini…”

“Mau bagaimana lagi ketika kita berdua mengantuk seperti ini, tidak ad acara lain.”

Namun, Saito merasa itu mungkin tidak ada hubungannya dengan kantuk.

Karena tidak ada waktu untuk bertengkar/(berdebat), jadi mereka buru-buru meninggalkan rumah.

Saat melewati toko serba ada, Akane melambat. Dia melihat poster yang tergantung di dinding-ding dengan penuh nafus. Rupanya yang tergambar di poster tersebut adalah sebuah cake strawberry terbaru.

"Apakah kamu lapar?"

"Ya…. Tapi, tidak ada waktu untuk membelinya dan memakannya.”

“Kamu tidak bisa berkonsentrasi ketika belajar tanpa sarapan, kan?”

Mengabaikan usaha Akane yang mencoba menghentikannya, Saito kemudian berlari ke toko terdekat.

Dia mengambil kue stroberi dan jus sayuran, dia dengan buru-buru membayar lalu meninggalkan toko tersebut. Itu tidak mahal, dan itu 3 kali lebih besar dari gateau normal.

"Aku tidak bisa memakannya jika sebesar ini!"

Akane melebarkan matanya. Itu tampak jauh lebih besar daripada yang diiklankan.

"Kalau begitu, mari kita bagi dua?"

Saito membagi kue itu menjadi dua dan memberikannya kepada Akane.

"Setengah…"

“… Krimnya seperti krim buatan. Sama sekali tidak terlihat seperti stroberi. Sepertinya pabrik pembuatnya tidak menyukai stroberi.”

"Jika kamu punya waktu untuk mengatakan sesuatu yang tidak berguna, biarkan aku memakannya."

Saat Saito hendak mengambilnya, Akane pergi menjauh dari Akane.

“Yang ini milikku! Aku tidak akan memberikannya padamu bahkan hanya untuk satu gigitan, Saito!”

"Tapi akulah yang membelinya!"

“Ini milikku ketika kamu memberikannya kepadaku. Kamu tidak berhak mengambilnya kembali.”

Akane memakan kue itu dengan antusias. Meskipun dia menggerutu, dia tampaknya menikmati setiap gigitan.

Sambil berjalan berdampingan dengan Akane, Saito juga sedang memakan kuenya.

"Begitu? Itu tidak terlalu bagus kan?”

"Itu pasti tidak."

Namun, itu tidak terlalu buruk. Berbagi kue murahan, dan mengkritiknya sambil berjalan bersama bukanlah hal yang buruk.

Saat keduanya sedang berjalan menuju sekolah,

"Hmm? Saito-kun? Akane?”

Mereka terkejut ketika mendengar suara tersebut. Himari dengan rambut pirang panjangnya yang menawan berlari ke arah mereka.

“”——————–!?””

Baik Saito maupun Akane membeku.

“Jarang sekali~ melihat kalian berdua bersama di luar sekolah seperti ini. Apakah kalian berdua pergi ke sekolah bersama? Ada apa, ada apa~?”

Matanya yang polos menatap mereka dengan penuh tanya.

-Ini buruk…!

Ini adalah kesalahan yang fatal. Saito bisa merasakan keringat dinginnya keluar dari Sebagian hidupnya mengalir keluar.

Karena dia buru-buru pagi ini dan karena ribuan sekrup di otaknya melonggar, dia benar-benar lupa untuk pergi ke sekolah lebih lambat dari Akane. Dia selalu berhati-hati tentang ini, tetapi itu semua tidak ada artinya untuk hari ini.

Melihat kesampingnya, wajah Akane juga pucat. Dia seperti putri duyung yang terdampar di darat, panikk. Setiap kali Akane didorong ke titik ini, dia selalu bertindak berbahaya.

“Ya, tidak mungkin kita pergi ke sekolah bersama! Sa, Sa, Saito yang menguntit di belakangku! Tolong panggilkan polisi untukku! ”

"Tahan."

Terdakwa, Saito, menyuarakan keberatannya.

Himari memiringkan kepalanya.

“Saito tidak terlihat seperti sedang menguntit~… Kalian berdua berbicara satu sama lain dengan gembira, dan bahkan berbagi kue satu sama lain.”

“Kuh~….”

Akane mengeluarkan Bahasa yang tidak dapa dimengertinya sama sekali. Satu-satunya hal yang dia/(Saito) tahu adalah bahwa dia/(Akane) telah menerima beberapa kerusakan mental yang berat.

“Ini, ini, ini, adalah,…”

Akane tenggelam dalam pikirannya. Kekuatan pemrosesan otaknya jauh lebih cepat daripada bagian tubuhnya yang lain. Dia hanya bisa mengatur beberapa ocehan yang tidak jelas, matanya melihat ke sekeliling, dan tangannya gemetar.

“Itu, itu benar! Ini, ini hanya sisa makananku yang telah ku buang, lalu Saito mengambilnya kembali dan memakannya!”

“Saito-kun…?”

Himari menatap Saito dengan perhatian di matanya.

"Aku bukan anjing."

“Benar, Saito bukan anjing…. Dia hanya menikmati hal-hal seperti itu… Setiap kali aku membuang sesuatu, dorongannya mengambil alih.”

"Bisakah aku menuntutmu karena fitnah?"

Saito kecewa. Seolah-olah saat-saat damai mereka bersama hanyalah ilusi.

Himari mengernyitkan dahi Akane.

“Oi~”

“Hya~!? A, apa yang kamu lakukan ..."

Akane memegang dahinya dengan mata berkaca-kaca.

– Dia akan memarahi gadis ini sebagai sahabatnya karena menjelek-jelekkanku? Itu bagus, jujurlah secara brutal.

Saito sangat menantikannya, namun..

“Kamu tidak bisa membuang makanan di jalan seperti ini. Kamu harus menghabiskan makananmu. Kalau tidak, gagak, anjing liar, atau Saito-kun akan mengambilnya.”

"Maafkan aku."

Akane berdiri dengan linglung.

-Itu bukanlah apa yang kumaksud!

Saito ingin membalasnya untuk membela diri, tapi mereka berhasil mengubah topik pembicaraan dari ketika mereka berjalan bersama, jadi dia menahannya.

Berkat usaha mereka berdua, kehidupan mereka berdua bertahap menjadi lebih baik.

Mereka secara teratur pergi berbelanja bersama membagi tugas dengan baik, dan bahkan menghabiskan waktu bersantai bersama, ketegangan diantara mereka berdua pun mereda.

Meskipun mereka tidak bisa sepenuhnya berhenti bertengkar, pertarungan sengit yang sering mereka lakukan pun seiring waktu mereda, dan mereka berhasil menikmati kehidupan menyenangkan diluar imajinasi mereka.

Dan berkat itu, Saito bisa melihat sesuat.

Hal itu adalah ekspresi, jalan pikir, dan keahlian/(usaha) Akane, sesuatu yang tidak dapat dilihatnya ketika mereka bertengkar di medan perang tersebut.

Hal lain yang dia sadari adalah keyakinannya.

Ketika Akane tidak datang ke kamar setelah lewat waktu tengah malam, kemungkinan besar dia sedang menghabiskan waktunya di ruang pribadinya. Pada waktu itu, pintu ruang pribadinya selalu dikunci, tapi mala mini pintu itu terbuka sedikit, cahaya memancar ke lorong melalui ambang pintu.

“Ini sudah larut. Apa yang sedang kamu lakukan?"

Saito mengintip ke dalam.

Ruangan itu dulunya dipenuhi dengan bau kayu seperti semua ruangan lainnya di rumah, tetapi sekarang ruangan ini dipenuhi dengan aroma yang manis dan feminim. Buku referensi dan ensiklopedia tebal terjajar rapi di mejanya, dan bahkan dihiasi dengan boneka teddy bear.

Akane berbalik untuk melihatnya.

“Belajar. Kita memiliki kuis yang akan datang minggu depan, jadi aku ingin mempelajari ulang semua topik yang akan kita bahas dalam ujian.”

Saito mengangkat bahu.

“Ini hanya kuis, tidak ada gunanya belajar. Kamu harus menyimpan upayamu untuk ujian sebenarnya yang akan datang.”

"Begitulah katamu, tapi kamu selalu mendapatkan nilai sempurna untuk kuis-kuis itu."

“Aku hanya mengerjakan kuis seperti biasa, aku tidak belajar ulang mengenai apapun.”

“Urghhh… Bagaimana kamu bisa mendapatkan 100 dengan begitu mudah…”

Akane mengepalkan tangannya.

“Aku selalu ingat apa yang diajarkan di kelas. Sebenarnya lebih sulit bagiku untuk melupakannya.”

“Apakah kamu mengejekku? Kamu ingin mengatakan bahwa seseorang yang menghabiskan upaya dalam belajar sepertiku itu bodoh, kan? ”

“Aku tidak mengatakan itu… Tapi kelihatannya sulit ya.”

Saito ingin memberi penghormatan atas usahanya, tapi itu memiliki efek sebaliknya.

“…..~~!! Keluar sekarang! Jangan ganggu aku!”

Akane melempar boneka beruang itu untuk mengusir Saito.

Saito berpikir "omong kosong" sambil berjalan keluar dari ruangan. Dia lengah karena hubungan mereka jauh lebih baik baru-baru ini. Tapi sepertinya dia menginjak ranjau darat Akane di suatu tempat.

Pintu kamarnya dibanting tertutup, dan suara kuncian bisa terdengar. Jika dia tidak melakukan apa-apa, suasana besok pasti akan lebih suram/(tak tertahankan).

–Aku harus melakukan sesuatu…Pasti ada cara untuk meningkatkan mood Akane….

Lebih mudah diucapkan daripada dilakukan. Jika dia tahu seperti itu, dia tidak akan bertarung dengannya selama 2 tahun berturut-turut. Jalan menuju hati Akane jauh lebih berat daripada beberapa pembelajaran sederhana.

Saat Saito sedang merenung, dia tiba-tiba teringat stroberi yang baru saja dia beli.

Dia mengkonfirmasinya dengan membuka lemari es.

Semua stroberi masih ada di sana. Mungkin tidak apa-apa untuk memberikan ini padanya, tetapi ada kemungkinan besar dia akan mengatakan “Jika kamu ingin makan, persiapkanlah sendiri”.

Akan lebih baik jika dia membuatnya lebih rapi. Akane paling suka cake dengan krim stroberi, jadi dia harus membuat sesuatu yang seperti itu.

Ada beberapa roti di lemari. Saito mengira dia bisa menggunakan roti di lemari dengan krim kocok dan stroberi untuk membuat sandwich stroberi, tapi tidak ada krim kocok di lemari es.

–Apakah mungkin mengganti krim dengan protein kocok?

Saito mendapatkan ide cemerlang.

Namun, Suara marah Akane yang berkata “Berhenti” segera bergema dikepalanya, jadi dia memasukkan protein shake kembali ke dalam lemari. Setelah dipikir-pikir kembali, protein cenderung menggumpal sehingga sulit untuk menciptakan kembali tekstur krim yang halus di mulut.

Dia membuka kulkas lagi untuk mencari-cari sesuatu, dan menemukan yogurt hambar. Warna dan teksturnya sesuai dengan apa yang dibutuhkannya, sehingga sangat ideal sebagai pengganti krim. Sebenarnya, ada beberapa krim asam dalam kehidupan nyata yang dibuat dengan membiarkan krim difermentasi dengan asam laktat.

Saito menuangkan yogurt ke dalam mangkuk besar, menambahkan banyak gula, dan mengaduknya hingga menebal. Kemudian, dia mengoleskannya ke atas irisan roti dan menaruh potongan stroberi ke atasnya.

Dia meletakkan sandwich yang sudah jadi di piring, dan berencana untuk menghiasnya dengan daun mint, tetapi… tidak. Tidak ada daun lain yang dapat dijadikan dekorasi. Ya, hanya ada parsley.

Karena dia tidak memiliki pilihan lain jadi Saito menaruh beberapa parsley di atas sandwich. Hijau dari daun parsley, putih dari krim yogurt dan roti, serta merah dari stroberi bercampur menjadi satu, membuatnya terlihat sangat lezat.

Saito puas dengan ciptaannya, dan dia membawa sandwich-nya ke kamar Akane.

Ada papan kayu yang terlihat lucu dengan tulisan “Kamar Akane” tergantung di luar pintu, tapi tidak ada yang lucu dari itu karena terus-menerus dibanting. Tidaklah aneh untuk mengatakan ada raja iblis yang tinggal di dalam sini.

Setelah menghela nafas panjang, Saito mengetuk pintu kamar-nya.

"Apa?"

Kelihatannya Akane masih belum bisa tenang karena kejadian tadi, jadi dia menjawab dengan suara singkat.

"Aku membuatkanmu camilan tengah malam, bagaimana kalau kamu memakannya sambil belajar?"

“Camilan tengah malam…?”

Pintu terbuka sedikit dan Akane menunjukkan wajahnya.

Ada sedikit kemungkinan dia akan kesal dan berkata 'Aku tidak mau, jadi berhentilah membuang-buang stroberi!'. Dan jika itu terjadi, hubungan mereka akan menjadi jauh lebih tegang.

Saito dengan cemas menyajikan hidangan itu padanya.

“Sandwich stroberi!!”

Mata Akane berkilauan seperti bintang.

Bagus, sepertinya dia menyukainya. Dan itu membuat Saito lega.

“Kenapa, kenapa kamu membuat ini untukku…? Apakah kamu memiliki motif tersembunyi…?”

“Aku tidak memiliki rencan apapun, tidak ada apa-apa.”

“Pasti kamu memasukkan sesuatu di sini. Jika tidak, Kamu tidak akan pernah melakukan hal seperti ini, terutama setelah pertengkaran.”

Akane tiba-tiba berseru.

"Aku tahu! Kamu menaruh beberapa obat tidur di sandwich ini bukan? Kamu membuatku tidur agar aku bisa mendapat nilai 0 untuk besok, bukan?

"Aku tidak memasukkan apa pun. Namun, jika kamu pikir kamu akan mendapatkan nol hanya karena kamu tidak belajar, maka kamu harus mempertimbangkan kembali pelajaranmu di kelas."

Akane menatap sandwich tersebut dengan penuh kecurigaan.

"Lalu…? Apakah ini semacam sampel, dan jika aku menggigitnya apakah gigiku akan rontok..? Kamu ingin menghancurkan hatiku bersamaan dengan rahangku dengan mencoba memakan sesuatu yang aku suka…?”

“Aku tidak mau melakukan hal-hal yang menyusahkan seperti itu. Ini hanya sandwich stroberi biasa. Makanlah."

“Kya~”

Saito menyerahkan piring itu seolah-olah membuangnya, dan Akane buru-buru menangkapnya. Tidak peduli betapa curiganya dia terhadap hidangan itu, dia adalah orang yang serius, yang tidak akan membuang makanan apa pun yang terjadi.

“Baiklah. Jika kamu tidak menginginkannya, buang saja. ”

“T, tunggu! Jangan tinggalkan ini atas kemauanmu sendiri.”

Saito meninggalkan ruangan dan juga keluhan Akane di belakangnya dan berjalan pergi.

Akhirnya, Akane bisa melanjutkan studinya setelah pria bermasalah itu pergi. Dia mencatat ruang lingkup kuis di buku catatannya, menghafalnya, menyusunnya kembali di kepalanya dan mencetaknya dalam-dalam agar tidak melupakannya.

Dia tidak bisa memaafkan siapa pun yang tidak belajar dengan serius. Dia harus mengalahkan pria acuh tak acuh yang bahkan tidak belajar untuk mengisi sebuah kuis – Saito.

Namun, dia tidak bisa berkonsentrasi sama sekali.

Dia meletakkan piring sandwich di atas meja karena dia tidak tega membuangnya. Dia terus meliriknya dari waktu ke waktu, jadi dia secara tidak sadar meninggalkan buku catatannya.

–Kelihatannya sangat enak…

Akane menelan ludah.

Tapi, itu aneh. Dengan betapa dinginnya dia memperlakukan Saito, dia masih membuatkannya camilan tengah malam. Kebaikan itu sepertinya tidak masuk akal baginya.

Atau, dia menargetkan kecurigaannya, dan membiarkan rasa lapar menyerangnya. Secara psikologis tidak mungkin seseorang dapat bertahan untuk tidak memakan makanan favoritnya yang berada tepat di sebelah dirinya sendiri. Jika itu rencananya, Saito adalah seorang perencana yang licik.

–Hanya, hanya sedikit. Tidak apa-apa jika itu hanya gigitan kecil kan …?

Akane dengan hati-hati menggigit sandwich.

Krim dingin dan asam, dan stroberi berair berputar-putar di mulutnya.

Dicampur dengan kelembutan roti, menciptakan rasa segar langsung ke tenggorokannya.

"….Sangat enak."

Akane berbisik, tidak percaya.

Dia tidak bisa merasakan efek obat tidur, atau protein kocok apa pun di dalamnya. Ini adalah camilan tengah malam yang benar-benar normal, dibuat dengan perhatian Saito tentang preferensi Akane.

Bagaimana jika ini adalah sesuatu yang dia buat setelah menyesali pertengkaran mereka, dan dia ingin memberikannya sandwich ini untuk menebusnya?

Ketika dia memikirkannya seperti itu, Akane merasakan perasaan yang tidak nyaman di dadanya. Itu hangat dan sedikit geli, membuatnya tidak bisa tenang ... namun, itu bukan perasaan yang buruk.

"Jika, jika seperti ini, aku tidak akan memberimu belas kasihan dalam tes yang akan datang."

Dengan pipi yang memerah dan panas, Akane memakan sandwichnya.

Lezat.

Dengan energinya yang terisi kembali, motivasinya membara.

Motivasinya meningkat lebih tinggi dari sebelumnya.

— Aku harus berusaha keras sampai pagi!

Akane sekali lagi meraih penanya dan menghadap kembali ke buku catatannya.

Akane tiba-tiba kehilangan kesadarannya saat dia sedang berjalan di lorong.

“Akane!? Apa kamu baik baik saja?"

Akane mendengar sebuah suara, dan menyadari bahwa dia sedang dipeluk oleh Himari.

“Ah… aku tertidur sebentar.”

“Apa maksudmu tertidur! Tertidur sambal berjalan itu berbahaya!.”

Himari bisa merasakan keringat dinginnya.

"Maaf. Lain kali jika aku merasa mengantuk, aku akan duduk dulu.”

“Pingsan sambil duduk juga tidak ada artinya… Akane selalu terlihat aneh akhir-akhir ini. Dan wajahmu juga sedikit pucat, apa kamu baik-baik saja?”

"Aku begadang setiap hari untuk belajar jadi aku tidak cukup tidur, itu saja."

Himari membawa Akane ke kafetaria.

Ada banyak siswa di kantin hari ini. Biasanya, Akane tidak pernah ke kantin, tapi tidak ada pilihan lain hari ini karena dia tidak punya waktu untuk menyiapkan bento.

Keduanya mengambil nampan mereka dan berdiri dalam antrean.

“Kamu harusnya membatasi waktu belajarmu~? Jika tidak, kamu hanya akan pingsan dan sakit.”

"Bahkan jika tubuhku hancur, itu harga yang pantas untuk dibayar untuk mendapatkan peringkat 1 teratas ..."

“Itu tidak baik-baik sama sekali! Tubuh Akane lebih penting dari pencapaian tersebut! Dan bagaimanapun juga, kamu bukanlah lawan Saito~!”

Akane mengerutkan alisnya.

“Bukan… Lawan Saito…?”

“Ah~”

Himari menutup mulutnya.

“Aku pasti akan menang melawan Saito! Bahkan jika itu membutuhkan waktu ratusan, tidak, ribuan tahun. Aku pasti akan membuatnya mengalami kekalahan telak melawanku dan mmebuatnya menerima bahwa aku ada di atasnya!.”

“Bahkan jika kamu berlatih ratusan tahun pun, kamu akan lulus terlebih dahulu~… Kamu hanya memiliki satu tahun sekolah menengah yang tersisa… Katakanlah kamu tidak akan bisa mengalahkannya sebelum itu, maukah kamu mengejar Saito ke universitas?”

“Aku, aku tidak mengejar siapa pun! Jika aku melakukan itu, bukankah itu sama saja bahwa aku memiliki perasaan untuknya?

Pipi Akane terasa panas. Dia juga merasa sulit bernafas, apakah karena kantin terlalu ramai?

Himari memesan omurice, sementara Akane memesan cake stroberi. Kemudian mereka mencari tempat duduk yang tersedia.

Saito dan Shisei sedang duduk di dekat pintu masuk. Mereka berdua benar-benar dekat. Suasana dan bahkan penampilan mereka mirip satu sama lain, jadi akan lebih mudah untuk mengira mereka sebagai saudara kandung daripada sepupu. Saito menghentikan Shisei ketika dia/(Shisei) mencoba memotong steak dengan tangan kosongnya.

“Saito dan Shisei duduk di sana~. Ayo kita makan bersama mereka!"

“Tidak, kita tidak bisa!”

"Mengapa?"

“Pokoknya jangan kesana!”

Interaksi Akane dan Saito baru-baru ini terlalu mencurigakan, bahkan hal tersebut membuat Himari curiga. Jika mereka duduk di meja yang sama, satu kesalahan dapat membuat Himari mencari tahu kebenarannya.

Fakta bahwa dia menikahi seorang anak laki-laki di kelas yang sama, dan bahkan tidur dengannya di ranjang yang sama setiap malam perlu dirahasiakan. Jika Himari mengetahuinya, dia pasti akan kecewa. Akane tidak ingin kehilangan satu-satunya sahabatnya.

Akane dan Himari mencari tempat duduk lain yang kosong seperti Saito dan yang lainnya.

Cake di piringnya dipanggang dengan baik. Ada banyak krim dan cokelat yang dekoratif. Akane menyukai kesempurnaan kue yang tampak tidak terduga untuk sebuah menu di kafeteria.

Namun ... Dia tidak menikmatinya sebanyak yang dia lakukan sebelumnya. Setiap kali dia memikirkan camilan tengah malam Saito, itu beberapa kali lebih enak.

“Akane sangat mengagumkan~”

“Eh? Untuk apa?"

“Jika itu saya, saya tidak tahan belajar setiap hari. Bahkan aku tahu bahwa aku harus lebih fokus belajar karena nilaiku selalu di bawah rata-rata. Tapi aku selalu kehilangan fokus karena video acak ynag muncul di smartphone-ku.”

Akane meletakkan garpunya di piring.

“Erm, aku tidak terlalu suka belajar. Juga… Ada seseorang yang mendukungku kali ini”

“Siapa siapa~! Apakah itu seorang pria? Apa kau sudah mendapatkan pacar?”

Himari bersandar di atas meja dengan mata berbinar. Dia sangat tertarik dengan cerita seperti ini.

Akane menyadari dia menambahkan beberapa kata yang tidak perlu.

“Aku, bukan seperti itu! Orang itu baru saja membuatkanku camilan tengah malam saat aku sedang belajar.”

"Ibumu?"

"Itu bukan ibuku."

“Lalu ayahmu?”

“Ayahku tidak bisa memasak.”

Himari meletakkan tangannya di dagunya, meniru pose seorang detektif legendaris.

“Bukan cowok, bukan orang tuamu, tapi rela membuatkanmu snack tengah malam sebagai bentuk penyemangat…?”

Kemudian, dia mengarahkan jari telunjuknya ke udara.

"Aku tahu! Pelakunya adalah Nona pembantu!”

“Tebakan yang bagus Ya, itu adalah maid-san yang ku sewa untuk sepenuhnya mendukungku dalam studi-ku. ”

Akane mengendurkan bahunya dan tertawa.

“Mou~, kau menggodaku kan~. Kamu tidak bisa menggodaku hanya karena aku bodoh, oke?~”

"Aku tidak menggodamu."

“Kalau begitu katakan padaku~ Akane~”

Himari mengguncang lengan Akane.

–Aku tidak menyangka Saito akan menjadi orang yang mendukungku seperti ini.

Memikirkan kembali tentang itu, Akane menjadi bingung. Dia tidak pernah membayangkan ini, mengingat interaksinya dengan dirinya hanyalah terdiri dari argumen dan pertengkaran.

Untuk tidak menyia-nyiakan usaha Saito karena telah mendukungnya, dia benar-benar akan mengalahkan Saito dalam tes ini.

Itulah sumpah yang Akane lakukan pada dirinya sendiri.

Akane terus belajar sampai lewat tengah malam. Akane ambruk di tempat tidur, ketika membangunkan Saito. Dan ketika dia memeriksa jam, waktu sudah menunjukkan jam 3 pagi. Dia melakukannya terus menerus, berulang kali.

Saito berpikir bahwa jika dia terus menumpuk rasa lelahnya, kemampuan akademik nya akan menurun, tetapi akan mudah jika dia mau mendengarkan nasihatnya.

Malam ini, dia juga menyiapkan sandwich stroberi untuk Akane.

Dia mengetuk pintu, tetapi tidak ada reaksi sama sekali.

"Aku membawa makanan ringan."

Saito memanggil sambil membuka pintu.

Akane tertidur di atas meja, tanpa ada tanda-tanda akan bangun.

"Apa kau tertidur? Jika ya, berbaringlah dengan benar…”

Ketika dia mendekat, dia melihat bahwa penampilan Akane sangat aneh.

Dia tertidur tetapi dia bernapas dengan tidak teratur, setiap napasnya terlihat menyakitkan, dan juga bahunya naik turun (tidak tenang).

Keningnya basah oleh keringat. Bahkan beberapa keringatnya sampai menetes ke kursi.

“….Apakah kamu merasa tidak sehat?”

“Tidak apa-apa… aku baik-baik saja… aku hanya istirahat sebentar…”

Suaranya terdengar lelah.

Saito meletakkan tangannya di dahi Akane. Akane tidak mendorong tangan itu, dan membiarkannya mengukur suhu tubuhnya. Dahinya benar-benar sangat panas (sehingga terasa membakar tangannya).

"Demammu sangat tinggi... Tidurlah malam ini."

“Eh, oke…”

Dia tidak memiliki kekuatan untuk menjawab (ataupun berdebat), jadi dia dengan patuh menuruti Saito.

Dia langsung jatuh ke tempat tidur setelah Saito membawanya ke kamar.

Kepalanya diletakkan di atas bantal, dan badannya terentang. Meskipun dia biasanya bertindak keras, namun sekarang dia menghembuskan napas yang terlihat berat.

Saito menutupi Akane dengan futon.

Dia pergi ke ruang tamu untuk mengambil termometer dari kotak P3K.

"Akan lebih baik jika aku memeriksa suhu-mu."

“……………….”

Meskipun berada di depan Saito, Akane mencoba membuka kancing piyamanya.

Namun, dia tidak memiliki kekuatan untuk melakukannya.

"Buka mulutmu."

Mendengarkan kata-kata Saito, Akane sedikit membuka mulutnya.

Saito dengan lembut meletakkan termometer di celah di antara bibirnya yang mengeluarkan beberapa napas lemah.

Akane bahkan tidak memiliki kekuatan untuk memegang termometer dengan benar sehingga Saito memegang thermometer tersebut untuknya. Setelah beberapa saat, thermometer menunjukkan angka yang lebih tinggi dari 40 derajat.

“40 derajat itu tunggu… Beri aku waktu sebentar.”

Saito menemukan stiker penurun demam dan beberapa obat penurun demam dari kotak P3K. Dia kemudian menempelkan stiker penurun demam di dahi Akane. Kemudian dia pergi untuk mengambil air.

Dia terlalu lemah untuk minum obat, jadi dia mendukungnya untuk duduk, lalu memasukkan obat ke mulutnya. Jari-jarinya menyentuh lidahnya dan akibatnya sedikit basah.

Saito memegang cangkir di mulut Akane dan membiarkannya minum air. Sulit untuk membiarkannya meminum semuanya sehingga dia secara bertahap menuangkan air melalui celah-celah di bibirnya.

“Haa~…haa~…..haa….”

Tampaknya bahkan minum air terlalu melelahkan bagi Akane, saat dia bersandar pada Saito dan bernapas dengan berat. Tingkat ketidakberdayaan ini tidak biasa.

“Seluruh tubuhku berkeringat… tidak nyaman.”

Tengkuk Akane basah kuyup, piyamanya juga basah oleh keringat. Jika dia dibiarkan seperti ini, dia juga akan masuk angin dan memburuk.

Saito membasahi handuk di kamar mandi, dan kembali ke kamar tidur.

"Aku akan membantu menyeka tubuhmu."

"Baik."

Mata Akane sekarang tidak fokus. Dia menanggalkan piyamanya, pinggang rampingnya yang telanjang terlihat sepenuhnya, lalu bra-nya juga terlihat.

"Tunggu tunggu tunggu, kamu tidak perlu melepasnya."

Saito buru-buru menghentikannya. Meskipun akan lebih mudah untuk menyekanya tanpa busana, ketika Akane sepenuhnya sadar kembali, entah apa yang akan Akane lakukan padanya/(pada Saito).

Saito menggunakan handuk basah untuk menyeka tengkuk Akane.

“Eh~…”

Akane mengeluarkan suara yang nyaman.

Saito juga menggunakan handuk untuk menyeka keringat dari wajahnya. Dia menggulung lengan bajunya untuk menyeka lengannya. Dia memasukkan handuk ke dalam piyamanya dan menyeka perut dan pinggangnya.

“Mou~…tempat itu…hngg~…”

Saat tangan Saito menyentuh kulit telanjangnya, Akane mengeluarkan suara geli yang lumayan keras.

Akane yang sekarang tanpa pertahanan benar-benar bereda dari biasanya.

Tindakan memasukkan tangannya ke dalam baju seorang gadis membuat jantung Saito berdetak lebih cepat.

Setelah menyeka tubuhnya, Saito membiarkan Akane tidur di tempat tidur.

Karena demamnya yang mengerikan, Akane tidak bisa tidur.

Sudah larut malam, tapi Saito enggan untuk tidur. Dia tidak berpengalaman dengan demam lebih dari 40 derajat seperti ini. Jika itu serius, dia tidak bisa tetap tenang.

–Kenapa aku begitu khawatir…..?

Bahkan Saito sendiri terkejut.

Gadis ini adalah musuh bebuyutannya, seseorang yang akan membuatnya marah hanya dengan bertemu dengannya di sekolah.

Dia selalu kasar, bisa mengubah segalanya menjadi suatau provokasi atau kompetisi, tanpa sedikit pun kejujuran.

Atau begitulah yang dia pikirkan.

Tapi sekarang, Saito berada di ruangan yang tenang ini, mengawasi gadis ini di tempat tidur. Tidak seperti dirinya yang biasanya, dia merawatnya dengan hati-hati.

Akane berbisik kesal.

“Belajar… aku harus belajar, tapi…”

“Itu karena kamu terlalu banyak belajar sehingga kamu jatuh sakit seperti ini. Kamu selalu begadang, tidak baik jika kamu mencoba terlalu keras.”

Saito terkejut. Sejak hari mereka tinggal bersama, dia belum pernah melihat Akane berpaling dari studinya.

"Bahkan jika itu tidak ada gunanya ... aku punya mimpi yang harus aku capai apa pun yang terjadi."

"Mimpi?" tanya Saito.

Akane berkata dengan suara lemah.

"Aku… ingin menjadi seorang dokter. Seseorang yang dapat membantu orang lain ketika mereka terluka. Aku membenci diriku sendiri yang tidak bisa berbuat apa-apa. Aku ingin semua orang yang kucintai selalu sehat.”

Ini mungkin pikirannya yang jujur, tanpa satu kebohongan dan tipu daya.

Saito dengan sabar menyaksikan Akane berbicara.

“Tetapi, keluargaku tidak cukup kaya untuk membiayaiku masuk kedalam kuliah/(pelajaran) kedokteran. Dan aku diberitahu bahwa jika aku setuju untuk menikahimu, maka semua biaya akan ditanggung/(dilunaskan), jadi ... "

“Jadi itu sebabnya…”

Mimpi – Orang dewasa pasti akan menertawakan mimpi yang begitu lemah.

Tetapi bagi Akane, dan bahkan bagi Saito, sebuah mimpi bahkan bernilai pertaruhan seumur hidup.

Bahkan jika itu akan mengakibatkan sebagian dari hidup mereka dibatasi, seperti memutuskan pasangan mereka.

Bahkan jika mereka harus mengorbankan kebebasan dan romansa, sesuatu yang hampir semua orang berusaha untuk lindungi.

Saito menikah demi mimpinya.

Akane menikah demi mimpinya.

Mereka berdua pada dasarnya sama.

“Kamu luar biasa. Selalu acuh tak acuh, tapi tetap mendapatkan nilai bagus. Aku tidak bisa mengalahkanmu tidak peduli seberapa keras aku mencoba. Hal itu menjengkelkan, tapi aku tidak memiliki pilihan lain.”

Akane lebih banyak bicara malam ini, karena demamnya.

"Setiap orang pandai dalam hal yang berbeda."

“Aku tidak suka itu!”

Tatapannya tidak setajam biasanya.

Dan dia mengeluarkan beberapa kata.

“ …Dan, aku juga sedikit mengagumimu.”

"Mengagumi…..?"

Pada saat itu, Saito benar-benar tidak bisa memahami apa yang dikatakannya.

Dia tidak berharap dia merasa seperti itu mengingat dia biasanya membencinya.

Akane tiba-tiba tersentak.

“T, tunggu! Aku tidak merasakan apa-apa tentangmu bahkan sekarang! Aku jelas tidak mengagumi Anda atau apa pun! Jika ada, aku benar-benar membencimu!”

Kepanikannya membuat pernyataan sebelumnya menjadi lebih nyata.

Saito merasakan debaran keras di jantungnya.

Melihat wajah sebenarnya dari gadis yang dulu dia anggap sebagai musuh, membuat tubuhnya terasa panas.

Akane terlihat malu, dia berpaling dari Saito, dan menutupi wajahnya dengan futon.

Kemudian, dia menderita batuk parah. Setiap tarikan napasnya terdengar menyakitkan.

"Apakah obatnya bekerja?"

"…Tidak tahu."

Saat Saito meletakkan tangannya di dahinya, Akane menggeliat.

“Ini bahkan lebih panas dari sebelumnya. Kita harus memanggil ambulans.”

"Berhenti. Jangan membuat seolah-olah ini adalah hal yang besar. Ambulans disediakan untuk keadaan darurat.”

“Demam 40 derajat harus memenuhi syarat sebagai keadaan darurat. Kamu harus tahu ini, mengingat kamu bercita-cita menjadi dokter.”

"Aku tahu ... tetapi jika ada orang yang lebih sakit meninggal karena diriku, aku tidak akan bisa memaafkan diriku sendiri."

"Kamu…"

Bahkan ketika dia sakit dan tidak nyaman, dia masih memikirkan orang asing. Gadis ini mungkin tampak egois di luar, tapi dia sangat baik hati.

Saito menggunakan smartphone-nya untuk mencari nomor operator taksi dan menelepon.

Namun, untuk beberapa alasan, panggilan tidak tersambung.

Sepertinya mereka memiliki kesulitan untuk membawa penumpang di larut malam seperti ini.

Saito lebih suka mereka mengantar orang sakit daripada mengantar beberapa orang mabuk.

"Sialan ~, yang ini juga tidak dapat tersambung!"

Saito buru-buru meletakkan teleponnya.

Rumah sakit terdekat berjarak 10 menit perjalanan dengan bus. Namun, tidak ada bus yang beroperasi pada jam tersebut.

Akane berkata.

“Tidak apa-apa, tidur saja. Kamu masih ada kelas besok.”

"Aku tidak bisa."

“Kya~!?”

Saito mengangkat Akane dari tempat tidur.

Dia merasa berlatih gendongan tuan putri bersama Shisei akhirnya bisa sedikit berguna. Dia tidak membayangkan itu akan efektif pada saat-saat seperti ini.

“K, kamu…. Apa yang sedang kamu lakukan…"

“Aku tidak bisa mengabaikan istriku yang sedang kesakitan.”

“….~.I, istri….”

Mata Akane bergetar.

Saito menggendong Akane dan melesat keluar rumah. Dia bisa merasakan kehangatan Akane di tengah dinginnya malam. Jika taksi tidak tersedia, satu-satunya pilihan adalah dengan berjalan kaki.

“Kamu lebih kuat dari yang aku kira, ya …”

Akane berbisik, dan berpegangan erat pada Saito.

Saito berlari di sepanjang jalan kosong yang gelap.

Malam menyelimuti keduanya.

Satu-satunya hal yang bisa dia dengar adalah langkahnya sendiri dan napas Akane yang kasar.

Tubuhnya lebih ringan dari apa yang awalnya dia pikirkan.

Lengannya ramping, dan kakinya lemah.

Seolah-olah dia akan hancur jika dia jatuh ke tanah, seperti kaca yang ditempa secara khusus.

Dia selalu bertengkar dengan tubuh mungil miliknya yang seperti ini. Di matanya, dia tampak sangat besar, murni dari energi dan kekuatan mentalnya yang melimpah.

Tapi kenyataannya adalah... gadis ini jauh lebih lemah dari biasanya.

Jika dia tidak ditahan seperti ini, jika dia tidak benar-benar mengawasinya, dia bisa dengan mudah menghilang. Jiwanya seperti petasan, cerah dan meledak-ledak, tetapi berbahaya.

Saito mengangkat Akane.

“……Itu, pertama kalinya aku mendengarkanmu berbicara tentang mimpimu.”

“Kamu pasti mengejekku karena betapa mustahilnya mimpiku.”

“Mengapa aku harus melakukan itu? Jika itu kamu, aku yakin itu bisa dicapai.”

"Mengapa?"

"Kamu mencoba yang terbaik untuk apa pun yang kamu lakukan, kan?"

“Ah… ya. Baik. Aku, benci menyerah di tengah jalan.”

Akane tersenyum dalam pelukannya.

Sampai sekarang, Saito tidak pernah memberi tahu Akane tentang mimpinya, atau masa depan yang dia bayangkan tidur di dalam hatinya.

Sejak awal sekolah menengah, atau mereka hidup bersama, dia tidak mengerti apa-apa tentang Akane. Sesuatu diletakkan di bawahnya yang bahkan lebih indah dari penampilannya.

Jika dia kehilangan Akane di sini, semuanya akan berakhir dengan dia berada dalam kegelapan. Jika kamu kehilangan sebuah buku ketika kamu baru saja membaca halaman pertama dari buku tersebut, rasa ingin tahu-mu akan membunuh dirimu sendiri.

-Aku ingin tahu lebih banyak. Tentang Akane.

Itulah yang dirasakan Saito.

Dia menuangkan semua motivasinya ke kakinya dan berlari.

Dia bisa merasakan udara menipis ketika sedang dia bernafas, jadi dia membuka mulutnya lebih lebar agra mendapatkan lebih banyak napas.

Jantungnya berdegup kencang, paru-parunya sakit seperti mau meledak.

Lengannya mati rasa karena menggendong Akane, dan kakinya juga sakit.

Tapi Saito tidak melambat. Sebaliknya, dia tidak bisa.

Dia bahkan memiliki lebih banyak motivasi, semakin lelah dia tumbuh. Dia memeluk Akane erat-erat dan menuju ke rumah sakit.

Napas putih Saito menari-nari di malam yang dingin.

Aku menikahi seorang gadis yang sangat aku benci.

Bahkan kemudian, meskipun itu sangat disayangkan.

Tapi yang pasti, suatu hari nanti, aku akan mengubah pernikahan ini menjadi pernikahan dengan akhir yang bahagia.



<    Sebelumnya    |    Index    |    Selanjutnya    >

You may like these posts

6 Komentar

  1. Arcleid
    ntar maleman w upnya
    • Raviel
      semangat min lagi seru nih
  2. Lucifer
    Iri bet
  3. Unknown
    Sedih gua bro palagi pas nyetel lagu Aubrey bread 😭
  4. Satrio
    Duh jadi terharu saya
  5. aurlest-kunn
    Mantep mc saya bangga terhadap kamu