Kurasu no Daikiraina Joshi to Kekkon Suru Koto ni Natta Volume 1 - Chapter 4 (Part 1)

Chapter 4 - Istriku (Part 1)

Bau buku-buku tua dan usang memenuhi perpustakaan sekolah, memberikan suasana yang unik. Itu adalah tempat perlindungan, terpisah dari kebisingan dan kegaduhan lorong dan ruang kelas.

Di dalam ruang yang aneh tersebut, Saito sedang berjongkok dan melihat-lihat buku yang ada di rak di depannya.

“Buku ini…!”

Dia merasa senang menemukan deskripsi yang dia cari.

"Tebak siapa ini?"

Pada saat itu, mata Saito ditutupi oleh tangan seseorang dari belakang.

Hal ini baik-baik saja, tetapi sepasang tangan itu basah kuyup, hingga membasahi matanya dan juga airnya mengalir dari wajahnya langsung ke dagunya.

“Orang yang bisa melecehkanku seperti ini hanyalah Shise, jadi itu pasti Shise”

“Oh ~, Kerja bagus Ani-kun. Kamu benar-benar mengerti Shise. ”

Shisei memisahkan tangannya dari tangan Saito.

“Apa maksudnya dari aku mengerti dirimu? Aku masih tidak mengerti mengapa aku sekarang basah kuyup.”

“Aku ingin membantu mengobati mata Ani-kun yang kering. Jangan ragu untuk mengungkapkan rasa terima kasihmu.”

Dia berkata dengan nada bangga, namun ekspresinya masih tetap tidak berubah.

“Aku berterima kasih atas masalah yang kau sebabkan”

"Kelemahan fatal masyarakat modern adalah ketidakmampuannya untuk mengungkapkan rasa terima kasih dengan jujur."

“Modern, kuno, atau apa pun itu sama saja. Buku-buku ini sekarang basah kuyup.”

Saito meletakkan buku yang sedang dia baca di rak.

Karena dia tidak membawa serbet, dia mengambil serbet Shisei dari saku Shisei dan menyeka tangannya untuknya. Shisei bebal seperti biasa, dan dia membiarkannya melakukannya tanpa bergerak satu milimeter pun.

“Buku apa yang ingin kamu baca?”

Shisei mengeluarkan buku itu dari rak.

Judul buku itu adalah ‘Belajar Kemampuan Berkomunikasi dari Nol'.

Shisei meletakkan tangannya di kepala Saito.

“Dari nol ya, itu sangat cocok untuk Ani-kun. Lakukan yang terbaik."

“Dihibur oleh seseorang yang tidak memiliki teman tidak membuatku lebih bahagia!”

“Bukannya Shisei tidak punya teman. Aku memiliki banyak penjaga yang menjagaku dengan benar.”

"Singkat cerita, kamu tidak punya teman!"

“Baru beberapa hari yang lalu seorang gadis di kelas memberiku uang saku, aku…menolaknya.”

"Kembalikan padanya!"

Shisei menggelengkan kepalanya.

“Tidak mungkin. Aku menggunakannya untuk membeli makanan, dan menghabiskan 10.000 yen dalam sehari.”

(10000 yen adalah sekitar 100 dolar)

“Jenis makanan apa yang kamu beli dengan harga 10.000 yen…?”

"Pangsit."

“Berapa banyak pangsit yang dapat kamu beli dengan 10.000 yen …”

Saito khawatir tentang masa depan Shisei. Bahkan orang-orang dengan jenis kelamin yang sama tertarik pada gadis kecil ini, jika dia tidak bisa menyadari pesona dari dirinya sendiri, itu akan menjadi masalah besar.

Shisei duduk di matras dan meregangkan kakinya yang terbungkus legging putih. Dia mengangkat buku itu dan menatapnya.

“Tapi itu mengejutkan. Aku tidak pernah menduganya bahwa Ani-kun sangat peduli dengan yang Namanya komunikasi.”

“Bukannya aku tidak tahu memiliki kemampuan berkomunikasi. Aku hanya ingin meningkatkan hubunganku dengan Akane.”

"Bukankah mencuci otaknya akan menjadi rencana yang lebih baik?"

"Mari kita kesampingkan topik tersebut"

“Bagaimana kamu bisa mengesampingkannya? Aku yakin bahkan Akane menginginkan itu.”

“Apa yang kamu ketahui tentang Akane!”

"Contohnya adalah, dia bisa menembakkan gelombang ultrasonik dari hidungnya untuk menghancurkan musuhnya?"

“Itu tidak terdengar seperti Akane yang kukenal.”

Akane adalah gadis yang serius. Jika kamu menggunakan trik kotor, kamu akan kehilangan seluruh kepercayaan yang telah kamu bangun secara instan selamanya.

"Jadi, apa yang kamu pelajari dari buku itu?"

“Ah, itu mengatakan sesuatu seperti 'orang-orang lebih akur ketika mereka bekerja bersama'. Jadi aku hanya perlu bekerja bersama dengan Akane untuk menyelesaikan beberapa tugas/pekerjaan.”

“Tugas apa?... menghancurkan dunia?"

"Sudah kubilang dia tidak punya senjata pemusnah massal."

"Jadi, menyalin sutra bersama?"

Note : sutra = mantra

"Romansa macam apa yang datang dari pasangan yang menyalin sutra bersama?"

Shisei menyatukan kedua tangannya dalam posisi berdoa.

"Kamu bisa menjadi buddha bersama-sama."

“Aku belum ingin mati~….”

Kehidupan Saito baru saja dimulai. Meskipun kehidupan pernikahannya secara ironis hampir berakhir, tapi ia menemukan secercah harapan. Dia ingin bergerak maju dan tidak mau melewatkan kesempatan tersebut.

Shisei mengangguk.

“Aku mengerti jalan pikiran Ani-kun. Shise akan merampok bank di sekitar sini, jadi Ani-kun dan Akane bisa menangkap Shise bersama-sama. Efek jembatan gantung akan memperkuat emosi kalian berdua.”

"Apakah perlu untuk menyiksa tubuhmu sejauh itu?"

Saito menghentikan sepupunya yang ceroboh dan tidak bermoral dari menjalankan rencananya. Bahkan jika dia membiarkan Shisei, orang-orang bahkan tidak akan menganggapnya sebagai perampok bank, tetapi sebaliknya mereka akan memberikan uang mereka kepadanya secara Cuma-cuma.

Kelas mereka selanjutnya adalah Kimia.

Akane dengan hati-hati memegang buku teks dan kotak pensilnya.

Tidak yakin apakah dia fokus untuk tidak membiarkan apa pun jatuh, atau sedang berjaga-jaga agar tidak dicuri. Bagaimanapun, dia menunjukkan pertahanan tidak bisa ditembus.

Saito memperhatikan sampai tidak ada orang lain di sekitar, lalu mendekati Akane.

"Bisakah kita bicara?"

"Apa? Kupikir aku sudah memberitahumu untuk tidak berbicara denganku di sekolah.”

Akane memelototi Saito. Ekspresi kasar yang tidak memberi petunjuk bahwa mereka adalah suami dan istri.

Saito berpikir jarak antara hati mereka sedikit menyusut, tapi ternyata itu hanya mimpi belaka. Ekspresinya bahkan lebih dingin dari sebelumnya. Bahkan jika dia menyarankan melakukan beberapa tugas bersama, dia tidak mau mendengarkan.

“Etto… apa kamu bebas sepulang sekolah hari ini?”

“Tidak. Aku harus pulang dan belajar.”

“Bukan itu maksudku. Aku bertanya apakah kamu punya rencana untuk pergi dengan teman-temanmu atau tidak. ”

“Eh? Ah… Himari bilang dia harus bekerja paruh waktu hari ini…”

Jawabannya terdengar sedikit mencurigakan.

Saito berdeham.

“Kalau begitu… Sepulang sekolah, maukah kamu berbelanja denganku?”

Akane menatap kosong ke arah Saito. Tampaknya dia tidak bisa mengerti apa yang Saito katakan.

Setelah beberapa saat kemudian, wajah Akane tiba-tiba menjadi merah.

“I,itu–”

Saito segera menyeret Akane ke ruang kelas yang kosong sebelum dia berteriak.

Telapak tangannya sekarang menutupi mulut Akane, dan mereka bersembunyi di balik dinding.

“Tidak~~! Un~!”

Akane melakukan yang terbaik untuk berjuang agar dapat melarikan diri, tapi Saito tidak akan membiarkannya kabur. Sekelompok teman sekelas mereka baru saja lewat sambal mengobrol. Membiarkan mereka mendengar apa yang Akane katakan hanya akan menimbulkan masalah.

Hanya setelah memastikan bahwa suara-suara tersebut telah hilang, Saito melepaskan Akane.

Akane menghela nafas berat, dia memeluk tubuhnya sendiri dengan mata berkaca-kaca.

“C, cabul! Kamu membawa seorang gadis ke sudut gelap dan melakukan sesuatu yang kasar padaku!”

"Aku tidak membawamu ke sudut gelap, aku juga tidak bertindak kasar!"

“Lalu apa yang akan kamu lakukan sekarang?! ‘Gehehe~ Saatnya menggali! Kakek juga sudah memberikan izinnya jadi aku bebas melakukan apa pun yang kuinginkan~!, aku tidak akan melepaskanmu meskipun kamu memohon atau menangis‘ itu benar-benar tertulis di wajahmu!”

“Lihatlah Wajahku, apakah wajahku memiliki cukup tempat untuk kalimat sepanjang itu? Aku hanya melakukan ini karena kamu hampir mengucapkan kata kencan!”

Akane hampir berlari ke lorong, sementara Saito menghalangi pintu keluarnya.

“Tapi, tapi, bukankah itu berkencan… Laki-laki dan perempuan bertemu seperti itu…”

Melihat Akane dengan malu-malu melihat ke bawah, Saito juga merasa malu.

Dia buru-buru menjelaskan kepada Akane.

“Tidak ada yang namanya … kencan! Kita hanya berbelanja. Kita tidak punya apa-apa lagi di lemari es, jadi membawa pulang makanan dari toko sendirian akan sulit kan?”

“Itu, itu begitu~, hanya berbelanja, ya! Ya, tentu saja, tidak mungkin Saito mengundangku berkencan!”

“Hahaha, bukankah itu sudah jelas~. Jangan salah paham lagi~”

“Aku tidak salah paham! Jangan salah paham dengan kesalahpahamanku!”

Keduanya berkeringat dingin. Senyuman mereka dipaksakan seolah berusaha melupakan pikiran untuk berkencan dengan musuh bebuyutan mereka.

"L, lalu, di mana kita akan bertemu?"

"Bagaimana dengan toko hamburger yang ada di dekat sekolah?"

“Tidak bisa. Ada banyak siswa dari sekolah kita yang sering pergi ke sana. Bahkan aku diundang oleh Himari dari waktu ke waktu.”

"Terlihat akan merepotkan ..."

Hubungan Saito dan Akane seperti kucing dan anjing. Jika mereka terlihat berjalan bersama di luar sekolah, rumor itu tidak akan pernah berakhir. Hanya ada sedikit romansa di antara keduanya, mereka hanya terpaksa menikah saja.

U~n, Akane meletakkan tangannya di wajahnya.

“Kupikir pintu masuk di belakang sekolah akan baik-baik saja. Hanya guru yang diizinkan menggunakannya.”

“Dimengerti. Kalau begitu, mari kita bertemu sepulang sekolah.”

Keduanya mengangguk dan melangkah keluar dari kelas yang kosong.

Berakhirnya jam pelajaran juga menandai selesainya sekolah. Di ruang kelas tempat para siswa pergi satu per satu, Akane bergidik.

Meskipun ini bukan kencan, pergi berbelanja dengan pria masih merupakan pengalaman pertamanya. Dia tidak tahu pengalaman mengerikan apa yang akan menantinya. Bahkan jika mereka telah menetapkan bahwa ini jelas bukan kencan.

Saito sedang membaca buku di mejanya.

Biasanya, orang ini tidak akan tinggal di kelas. Dia sedang menciptakan celah agar mereka bisa pergi secara bersamaan. Melihat tatapan Akane, Saito mengangguk seolah mengatakan 'pergi saja'.

Akane mengambil tasnya dan menuju ke koridor.

Temannya Himari sedang bekerja hari ini jadi seharusnya tidak ada orang yang menahan Akane.

Atau begitulah yang dia pikirkan, tapi.

“Akane~~! Ayo pulang bersama~~!”

Dengan senyum cerah, Himari mengejarnya dari ruang kelas.

Note : Himari SUS

“Himari!? Apa kau tidak ada pekerjaan hari ini?”

“Ah~ Jadwalaku tiba-tiba dibatalkan begitu saja~. Sudah lama sejak terakhir kali aku pergi denganmu jadi aku ingin menghabiskan waktu bersama Akane, waktunya sangat tepat!”

“B, begitu…”

Yah waktunya tidak bisa lebih buruk untukku!~ itulah yang Akane paksakan ke tenggorokannya.

“Ah dan juga, toko parfait yang disukai Akane, mereka punya menu spesial malam ini!”

"Sungguh!? 1kg parfait stroberi sepuasnya?”

“Ya~ya~, Akane, kamu bilang padaku sebelumnya bahwa kamu ingin mencobanya,kan? Aku baru saja mendapatkan gajiku hari ini, jadi itu adalah hadiah dariku!”

Himari meletakkan tangannya di dadanya dengan wajah percaya diri.

“Ugh~….”

Kenapa harus sekarang?~ Akane meratapi di dalam hatinya.

Perfait adalah sesuatu yang sangat menarik, mungkin tidak akan ada kesempatan kedua jika dia melewatkan ini. Tidak ada alasan untuk menolak tawaran menarik Himari.

Tapi, dia sudah punya rencana dengan Saito. Melanggar janji itu tidak bisa dimaafkan. Jika posisi mereka dibalik dan Akane yang dikhianati, dia pasti akan sangat kecewa.

“E, eeto… maaf? Aku sedikit.. Sibuk hari ini…”

“Kamu hanya akan belajar di rumah, kan?”

“B, biasanya begitu, tapi aku punya rencana dengan seseorang hari ini…”

“Eh~, siapa itu siapa itu? Teman baru mu!? Perkenalkan aku pada mereka!”

Dia mati-matian mencoba mencari alasan, tetapi Himari berpegang teguh pada Akane dengan nyawanya yang tersayang. Mata itu berkilauan.

“Kamu tidak perlu perkenalan, itu seseorang yang Himari kenal.”

“Orang yang kukenal yang dekat dengan Akane, aku hanya bisa memikirkan Saito…. Apakah ini kencan?”

“Ini bukan kencan~!”

Akane berteriak sekuat tenaga. Dia bisa menyerah pada masalah apa pun kecuali itu.

"Tapi apa pun! Ini adalah acara yang langka jadi mari kita pergi bersama kita bertiga. Aku juga ingin lebih dekat dengannya!”

Himari memberikan saran yang sangat polos.

Akane sama sekali tidak memiliki niat jahat, tetapi hatinya dipenuhi dengan rasa bersalah.

Pergi dengan tiga orang terdengar salah bagi Akane karena suatu alasan. Yang berarti dia ingin pergi berbelanja dengan Saito sendirian sepulang sekolah, dan dia merasa itu juga yang diinginkan Saito... Hanya saja dia tidak yakin mengapa.

"Aku sangat menyesal! Aku tidak bisa hari ini! Undang aku di lain hari!”

Akane menyatukan tangannya untuk meminta maaf kepada Himari dan pergi meninggalkannya dibelakang.

Dia memegang pegangan tangga karena hampir jatuh, jadi dia langsung melompat ke lantai 1.

-Aku akan membuat beberapa kue sebagai permintaan maaf untuk kali ini...

Akane terengah-engah saat berjalan di sepanjang koridor.

“Fu~mi”

Dia mendengar suara aneh di bawah kakinya dan merasakan sesuatu yang lembut di bawah kakinya.

Dia melihat ke bawah dan menyadari bahwa dia baru saja menginjak Shisei yang terbaring di lantai.

“M, maaf! Apakah kamu baik-baik saja? Dan kenapa kamu berbaring di lantai seperti ini!?”

Akane menarik Shisei dan membersihkan kotoran di seragamnya.

Shisei memberinya tanda perdamaian.

“Aku menunggumu Akane. Ini hanya untuk menjebakmu.”

“Menempatkan dirimu dalam kesakitan hanya untuk menjebak orang lain…?”

“Aku tidak menyangka akan ada orang yang cukup berani untuk berdiri setelah menginjak Shise…. Itu bagus. Aku menghormati keberanianmu, ambillah pedang legendaris ini sebagai balasannya.”

“Aku sibuk sekarang, bisakah aku pergi sekarang…?”

Shisei yang samar dalam berbicara bukanlah hal baru, tetapi saat ini dia tidak punya waktu untuk memecahkan kode apa yang Shisei katakan. Dia harus pergi ke gerbang belakang sebelum Saito, dan jika dia bertemu Himari, segalanya akan menjadi rumit lagi.

“Sebelum kamu pergi, Shise punya pertanyaan. Wanita ini di sini, apakah kamu memiliki keinginan untuk bekerja sama?”

"Bekerja sama…?"

“Menaklukkan dunia, menyalin sutra, menghentikan pelaku kejahatan. Pilih salah satu."

Fu-mu, Shisei meletakkan tangannya di pinggul dan menghembuskan napas besar.

"Hanya ada pilihan yang tidak ingin aku pilih."

"Masa bodo. Jangan terlalu memikirkannya, aku ingin kamu memilih dengan intuisimu.”

"Aku bahkan tetap tidak ingin memilih apapun meskipun menggunakan intuisiku."

“Muh~…Akane itu egois. Jadi, apa yang ingin kamu lakukan bersama dengan Ani-kun?”

“Apa….. Kenapa, kenapa ini menjadi urusan Saito!?”

Akane merasakan keringat dingin.

“Tidak ada alasan khusus, hanya ingin bertanya. Tidak apa-apa bahkan jika itu adalah pekerjaan yang akan memakan waktu lama seperti membuat semua es di bawah tanah mencair.”

“Kenapa Shisei-san hanya memberiku pilihan yang tidak ingin aku lakukan?”

“Aku ingin kau memberi tahuku. Sampai kamu menjawabku, aku tidak bisa membiarkan kamu meninggalkan tempat ini.”

Shisei memblokir jalan Akane dengan mengangkat kedua tangan dan kakinya, menciptakan postur yang sangat aneh.

Dia mungkin berdiri dalam semacam sikap khusus. Tapi aura yang dia keluarkan bukanlah aura petarung, tapi aura seekor hamster. Pada dasarnya, sangat lemah.

Ada apa dengan keberuntungannya hari ini, bahwa dia terus menemui rintangan di atas rintangan. Dia harus bergegas ke titik pertemuan.

"M, maaf, tapi aku punya sesuatu yang penting untuk dilakukan~!"

"Ah"

Akane berlari dengan kekuatan penuh melalui Shisei yang penuh dengan celah.

Shisei jatuh ke tanah dan berlari mengejarnya. Yang menakutkan adalah postur berlarinya terlihat seperti boneka berhantu, tetapi kecepatannya lambat sehingga tidak mungkin baginya untuk mengejar.

Akane menukar sepatunya di loker sepatu, dan mengikuti jalan setapak yang teduh sambil mewaspadai orang lain.

Dia hanya bisa bernapas lega ketika dia akhirnya mencapai pintu belakang. Saito belum ada di sana.

–Mengapa aku mengatakan bahwa itu adalah sesuatu yang sangat penting …

Akane akhirnya bingung.

Jika ini terjadi, bukankah ini bisa dibilang kencan?

Bukankah dia menantikan untuk pergi berbelanja dengan Saito?

–K, kami sudah menetapkan bahwa ini bukan kencan! Ini adalah pekerjaan rumah! Kita hanya membeli kebutuhan untuk rumah!

Dia sekali lagi menegaskan secara internal.

Namun, dia merasa sangat aneh. Dia tidak ingin bertemu dengannya dengan pakaiannya yang ceroboh/(kotor) jadi dia menyesuaikan kembali pakaiannya, dan memeriksa rambutnya.

–Bahkan jika ini bukan kencan, ini akan terlihat lebih baik kan? Ini jelas bukan kencan!

Akane mengambil lipstik dari tasnya dan mulai mengoleskannya ke bibirnya.

Saito meraih sepatunya sebelum petugas kebersihan mulai membersihkan kelas.

Dia dengan mudah melewati lorong untuk melangkah keluar, dan sampai ke pintu belakang.

Langit biru cerah membuatnya nyaman. Di luar sekolah, ada anggota klub seni yang dengan senang hati membuat sketsa tugas mereka. Warna biru laut dari seragam mereka memenuhi matanya.

Saito merasa gugup/(khawatir) saat dia tengah berjalan.

Mereka sudah membuat janji, tapi dia tidak yakin apakah Akane akan menunggunya. Dia kemungkinan besar akan benci melakukan tugas bersama seperti ini, dan mungkin sudah kembali ke rumah.

— Yah, mungkin ituu baik-baik saja.

Satu-satunya nasib yang menunggunya dengan perjalanan belanja mereka adalah kelelahan mental dan pertengkaran karena perbedaan pendapat. Akan jauh lebih efisien jika dia pergi sendiri.

Tapi, bahkan Saito tidak mengerti mengapa, dia sendiri memiliki keinginan untuk ditunggu oleh Akane.

Melewati tempat parkir guru dan mendekati gerbang belakang, sosok Akane memasuki pandangannya. Dia membawa tasnya di satu sisi, tampak gugup dan bermain dengan poninya.

Saito merasa lega melihat sosok tersebut.

“Membuatmu menunggu.”

“Ehm.”

Akane mengangguk, dan mereka meninggalkan sekolah.

Karena ini bukan pintu masuk resmi, kelalaian terlihat jelas. Pagar besi berkarat, dan rumput liar tumbuh di mana-mana di jalan.

Saito berbalik hanya untuk memastikan. Mereka tidak terlihat oleh siswa lain. Jika ini berjalan dengan baik, mereka dapat menghindari jalan utama ke sekolah dan berjalan dengan aman.

"Jadi apa yang kita lakukan tentang belanja?" – Saito

“Aku selalu membeli dari toko dekat rumah kita.”

"Sungguh."

“Uhm.”

“……………….”

“…………………”

Percakapan yang canggung.

Meskipun mereka berjalan bersama, jarak mereka secara bertahap meningkat, saat ini dipisahkan sejauh 1 meter.

Akane menatap lurus ke bawah, telinganya memerah, dan dia mati-matian berusaha untuk tidak menatap mata Saito.

Hari ini adalah hari pertama mereka mencoba pergi ke suatu tempat bersama. Meskipun mereka selalu berkelahi di sekolah kapanpun mereka bertemu, tetapi ketika di luar sekolah mereke memiliki urusannya masing-masing. Saito bingung tidak tahu bagaimana harus berinteraksi dengannya.

Melewati jalan yang rimbun, mereka mencapai stasiun bus, dan melihat semakin banyak orang. Tidak ada ruang sebanyak sebelumnya bagi mereka untuk menjaga jarak yang begitu lebar satu sama lain. Mereka langsung didorong bersama hingga bahu mereka bersentuhan.

“T, tunggu! Jangan menempel padaku seperti itu!”

"Tapi kaulah yang menyentuhku."

“Huuuhh? Kamu adalah orang yang menyentuhku! Dan aku sudah bilang padamu untuk tidak menyebutku sebagai 'kamu’!"

"Kamu juga memanggilku 'kamu'!"

“Kalau begitu biarkan aku mengatakannya lagi! Saito adalah orang yang menyentuhku!”

“Tapi Akane yang melakukannya lebih dulu!”

"Baik!"

“’Baik’ apanya?”

Pejalan kaki yang lewat melihat keduanya berdebat dengan rasa ingin tahu.

Hubungan mereka buruk seperti biasanya, tapi Saito merasa lega. Jika Akane bersikap patuh dan ramah, hal itu pasti akan membuatnya gila.

Supermarket yang sering dikunjungi Akane berjarak sekitar 5 menit dari rumah mereka dengan berjalan kaki.

Itu di sebuah bangunan tua, dan berbagai tanda toko yang ditempel di dinding menunjukkan keausan. Kamu tidak bisa menyebut ini mal yang bersih, tetapi tempat parkirnya penuh dengan kendaraan, dan pintu depan dipenuhi dengan deretan sepeda.

Di sebelah pintu otomatis ada kertas toilet dan pemutih, seorang ibu rumah tangga dengan anaknya membawa barang-barang mereka dan masuk kedalam.

Untuk seseorang yang ingin menjadi pengusaha, Saito mengamati bermacam-macas jenis pelanggan dengan penuh minat.

"Ada banyak orang untuk mal kumuh seperti ini."

“Konyol. Meskipun bangunannya mungkin sudah tua, kebersihan produk mereka adalah yang terbaik. Produknya juga murah sehingga sangat populer di kalangan ibu rumah tangga terdekat.”

"Apakah kamu mendengar itu dari pelanggan lainnya?"

Akane menggelengkan kepalanya dengan ekspresi yang terlihat bosan.

“Bagaimana bisa aku berbicara dengan seseorang yang tidak kukenal seperti itu. Ketika kita pindah ke sini, aku melihat ulasan secara online.”

“Hah~…..”

Saito terkejut karena dia tidak pernah peduli dengan ulasan supermarket ketika dia pergi berbelanja. Jika itu adalah sesuatu yang umum, akan bermanfaat untuk mempertimbangkan kebijakan perusahaannya di masa depan.

Saito memegang keranjang dan masuk ke supermarket bersama.

Ada banyak kios untuk buah-buahan dan sayuran.

Di sepanjang dinding ada kios tahu, natto, dan kentang.

Note : natto adalah biji kedelai yang difermentasi

"Pertama-tama, kita tidak punya bawang, natto, dan telur di rumah."

Saito mengambil beberapa dan memasukkannya ke dalam keranjang ketika Akane mengeluh.

“Jangan memasukkan apapun ke dalam keranjang tanpa sedikitpun pertimbangan! Kamu harus melihat harganya!”

"Harga…?"

“Telur yang baru saja dimasukkan Saito, harganya 20 yen lebih mahal daripada telur yang ada di sini! Dan tanggal kedaluwarsanya lebih pendek!”

Dia mengambil sebungkus telur yang berbeda dari rak lain.

"Kamu masih bisa memakannya jika sudah melewati tanggal kedaluwarsa."

“Bagaimana bisa kamu memakannya! Kamu akan sakit perut. ”

"Kita akan menyeberangi jembatan ketika kita sampai di sana."

“Tenanglah! Telur disebut sebagai ‘barang premium’ dan selalu murah, serta selalu menjadi teman makan keluarga yang dapat dipercaya. Kamu hanya membuang-buang uang jika membelinya dengan harga tinggi.”

Akane mengambil telur Saito dan meletakkannya kembali di rak. Dia juga menukar natto dan bawang bombay dengan yang lebih murah. Bahkan produk yang disodorkan di rak oleh pelanggan lain diatur ulang olehnya.

"Aku bahkan telah berusaha keras untuk memilih mereka ..."

“Kamu tidak memilih apa pun. Kamu hanya mengambilnya tanpa memikirkannya. ”

Akane berdiri di area rempah-rempah.

Dia mengambil saus dari merek yang berbeda-beda, dan bahkan dia melihat ruang kosong yang ada di dalam botol-botol tersebut.

“Yang ini 398 yen untuk 450 ml, yang ini 442 untuk 500… jadi 1ml bernilai… Sulit untuk melakukan perhitungan di kepalamu.”

“Kamu terlalu cerewet. Tidak ada banyak perbedaan dalam harga jadi ambil saja mana yang lebih banyak. ”

“Aku tidak rewel. Jika kamu terus membuang-buang uang kehidupanmu hanya akan berakhir buruk. Ketika kamu menanggung hutang besar, baru kemudian kamu akan mengatakan 'Jika saja aku membeli kecap ikan yang lebih murah ...', tetapi pada saat itu sudah terlambat.”

"Tidak mungkin kamu bisa mendapatkan hutang dari sebotol kecap ikan."

“Columbus terlilit utang karena mencari rempah-rempah. Jadi mendapat masalah untuk saus bukanlah sesuatu yang baru.”

Atau begitulah katanya, tapi ini bukan lagi zaman eksplorasi.

"Kamu tunggu di sana, biarkan aku mengeluarkan ponselku untuk menghitung."

Akane akan mengeluarkan ponselnya dari tasnya. Dia memegang saus di kedua tangannya sehingga akan berbahaya jika dia menjatuhkannya.

Tanpa pilihan lain, Saito harus memegang saus untuknya, sementara Akane mengutak-atik ponselnya.

“Kedua sisinya berharga 0,884 yen per ml. Karena yang 500ml lebih murah 0,0004 yen, aku akan mengambilnya.”

“Kamu terlalu mendetail…!”

“Ada pepatah terkenal yang mengatakan ‘Barang siapa yang menertawakan 0,0004 yen dia juga akan menangis untuk 0,0004 yen’ “

“Tidak ada pepatah seperti itu”

Saito juga pernah mendengar orang berkata ‘Barang siapa yang menertawakan 1 yen dia juga akan menangis untuk 1 yen’.

Meskipun begitu, Akane terlalu serius. Meskipun dia sudah tahu akan hal ini ketika mereka membagi pekerjaan rumah, karena dia pikir akan melelahkan untuk pilih-pilih.

Ketika keduanya berkeliling toko, mereka menemukan kerumunan di kios daging.

"Apa yang sedang terjadi di sana…?"

“Entahlah…”

Keduanya berhenti.

Kerumunan – penuh ibu rumah tangga – yang penuh dengan niat membunuh. Rasanya seolah-olah mereka akan memusnahkan siapa pun yang menghalangi jalan mereka. Entah mereka bersiap untuk berlatih atau tidak, mengingat ada gadis SMA yang sedang menghangatkan kaki mereka.

Dari dalam ruang persiapan, karyawan itu mengeluarkan troli yang penuh dengan produk.

Produk yang ditumpuk di troli adalah ayam. Teks merah yang diwarnai dengan warna kuning yang menarik mata orang-orang bertuliskan, “Penjualan Waktu Terbatas: Dada ayam. 50 yen per Kotak.”

"Kita masih punya banyak daging di rumah jadi tidak apa-apa jika kita tidak mendapatkannya ..."

Saito berkata seperti itu dan mulai bergidik ketika melihat Akane yang ada disampingnya.

Pupilnya terbakar oleh semangat juang, sementara tangannya terkepal kencang.

“Penjualan waktu terbatas yang ada ditempat ini benar-benar penuh dengan perjuangan… Hanya sekejap mata dan semuanya hilang, dan aku tidak pernah mendapatkan produknya sekali pun…. Ini adalah hari bagiku untuk menebus diriku sendiri…”

“Oi, kita masih punya lebih dari cukup daging di rumah…”

“Kita bisa memasukkannya ke dalam freezer. Ini adalah masalah kebanggaan.”

Gadis SMA menaruh kebanggaannya pada Penjualan Waktu Terbatas di supermarket.

Dia tampaknya telah memakai mode seriusnya, dan dia memberikan tasnya pada Saito.

“Lihatlah betapa beraninya diriku. Legenda baru akan dimulai dari sini…!”

Akane menunjukkan keseriusan di wajahnya, dan mendekati kios daging.

Pada saat yang sama, karyawan itu membunyikan bel, dan kerumunan mengangkat teriakan perang mereka.

“UOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOO!”

Dia tidak salah dengar, tapi ini kenyataan. Saito benar-benar mendengar suara auman binatang dari ibu-ibu rumah tangga yang lemah itu.

Tidak, kelemahan tersebut hanyalah imajinasi Saito.

Para ibu rumah tangga itu – penuh dengan otot-otot yang kuat. Mereka dilatih dengan mengendarai kain lap ke rumah mereka setiap hari, dan dengan membawa pulang barang belanjaan yang berat dengan satu tangan. Keberanian mereka meningkat dan telah dibudidayakan untuk melindungi keluarga mereka di rumah.

Note : njirr absurd beut sumpah

.

Dengan kecakapan pertempuran sebanyak itu, para ibu rumah tangga menyerang troli tersebut. Mereka menggunakan otot tubuh mereka untuk mencuri ayam dari genggaman orang lain, dalam pertempuran berdarah di mana aturan tidak berguna.

Tubuh kurus Akane langsung ditelan oleh kerumunan.

"Berhenti~" "Maaf~" "Biarkan aku pergi~" "Tidak masal~"

Dia mendengar teriakan minta tolong Akane yang terputus.

Sementara Saito masih shock dengan ayam yang menghilang dengan cepat, Akane keluar dari kerumunan dalam bentuk compang-camping. Dia pikir dia diserang oleh naga, yang mengacak-acak rambut dan pakaiannya.

“E, entah bagaimana… aku mendapatkannya…”

Yang dipegang Akane bukanlah ayam. Tapi label penjualan Waktu Terbatas. Setelah menyadari itu, bahu Akane bergetar.

“Ugh~…….”

“T, tunggu, jangan menangis! Aku akan pergi kali ini!"

Saito dengan berani bergabung dalam keributan.

Dari dalam, karyawan itu mendorong troli baru. Kali ini daging babi, 25 yen per kotak. Mata ibu rumah tangga Amazon itu seperti serigala yang kelaparan.

Jelas, tidak mungkin seorang anak SMA akan kalah dari beberapa gadis SMA di luar sana.

Atau begitulah yang dia pikirkan, saat dia melangkah masuk.

"Ini bukan tempat bagi kalian anak-anak untuk dimasuki..."

Tubuhnya diremas, dan dia mendengar bisikan di sebelah telinganya.

Dia hancur oleh tekanan yang dilepaskan ibu rumah tangga di sekitarnya.

Sementara tubuhnya masih tidak bisa bergerak, ibu rumah tangga itu mendorong Saito ke samping. Saito didorong, diinjak, dihancurkan, tapi dia masih beringsut maju.

Saito memfokuskan pertahanannya pada titik lemahnya, tapi bahkan itu terlalu sulit, dia menjadi compang-camping dan didorong keluar oleh kerumunan.

Setelah kerumunan itu pergi, hanya Saito dan Akane yang tersisa, terbaring tak berdaya di tanah.

Mereka benar-benar kewalahan. Tidak ada peluang untuk menang melawan kekerasan seperti itu. Senyum mekar dari pengalaman tidak nyata itu, bukannya menjadi depresi.

“Kami benar-benar tidak bisa melakukannya ya.”

"Apa, yang sebenarnya kita lakukan?."

Keduanya saling memandang satu sama lain, lalu tertawa. Akane tertawa terbahak-bahak hingga menangis.

Itulah, saat pertama mereka tertawa satu sama lain dari lubuk hati mereka.

Gagal bersama mencoba melakukan sesuatu bersama. Rambut dan pakaian mereka semua berantakan, tetapi tidak ada perasaan tdak nyaman. Momen “Tertawa bersama Akane” mengejutkan Saito karena rasanya begitu nyaman.

Kemudian Akane berdiri, dan menepuk ujung roknya.

“Kita akan menyerah untuk hari ini. Maka dari itu kita benar-benar harus menang lain kali. ”

"Kamu masih punya motivasi?"

"Tentu saja. Dunia ini ditentukan oleh yang kuat.”

"Kalau begitu aku mundur."

“Tidak boleh. Saito juga harus bergabung.”

Dia menyipitkan matanya dan menatap Saito. Kilatan nakal yang jarang terlihat dari Akane membuat Saito tanpa sadar mengangguk.

Keduanya melanjutkan perjalanan belanja mereka, dan akhirnya sampai di bagian makanan siap saji.

Ketika dia/(Saito) sampai disana, selera makannya bangkit karena sebuah aroma makanan. Rupanya itu berasal dari seorang pemilik warung yang menggoreng sosis di atas wajan panas. Sebuah sampel makanan disajikan dengan tusuk gigi di atas nampan kecil.

Akane juga menatap ke arah sosis.

“…Mau mencobanya?”

“T, tidak!”

"Tapi, air liurmu bocor."

“….~!”

Akane langsung menggunakan tangannya untuk menyeka mulutnya. Setelah menyadari bahwa dia telah dijahili oleh Saito, dia cemberut dan memelototinya.

"…..pembohong."

Sifat cemberutnya persis seperti anak kecil.

“Mereka sudah mengalami kesulitan membuatnya, tidak ada salahnya mengujinya.”

“Itu memalukan!"

"Memalukan? Mengapa?"

“Itu memalukan, karena itu membuatmu terlihat seperti orang yang rakus! Dan makanan itu juga mahal, jika kamu memakannya, kamu benar-benar harus membelinya.”

"Tidak apa-apa. Katakan saja 'itu tidak terlalu bagus jadi aku tidak akan membelinya' ”

"Kamu akan menyakiti karyawannya!"

“Makanan sampel dibuat untuk dicobba, jika tidak enak maka tidak perlu membelinya.”

Saito menarik lengan Akane dan membawanya ke warung makan.

Dia memasukkan sosis ke mulut Akane yang ragu-ragu.

“Ah panas~… uhm uhm…”

Akane buru-buru memakan sosisnya. Dia menelannya dan langsung wajahnya berseri-seri.

"Ini bagus…! Saito coba beberapa!”

“Oh”

Saito juga memasukkan beberapa sosis ke dalam mulutnya. Dagingnya empuk, bersama dengan jus yang mengalir di mulutnya. Aromanya berasal dari penggunaan rempah-rempah yang istimewa, menciptakan rasa yang kaya.

Karyawan itu tersenyum dengan gembira.

“Ini masih enak bahkan jika dibiarkan agak dingin, jadi kamu bisa menggunakannya untuk bento. 300 yen untuk 1 kotak, jika kamu membeli 3 kotak harganya hanya 800 yen. ”

“Uh~ … aku tahu itu, itu mahal…”

Akane ragu-ragu. Rupanya dia sangat menyukainya, dan sekarang melihat harganya dengan pertimbangan.

“Jangan terlalu menahan diri.”

“Ah~”

Saito memasukkan satu paket ke dalam keranjang dan segera pergi.

Akane bergegas mengejarnya.

"Tunggu, jangan memutuskan sendiri!."

“300 yen adalah harga yang murah untuk senyum Akane.”

“A, apa… aku bukan wanita murahan.”

Pipi Akane memerah, dan dia bergumam malu-malu.

Bahkan, Saito lebih dari senang jika sosis itu bisa membuat suasana menjadi lebih lembut. Setelah melihat senyum lembut Akane, dia benar-benar tidak ingin kembali seperti dulu.

Keduanya berdiri di depan kasir.

Akane dengan bangga menunjukkan kartu loyalitasnya kepada karyawan tersebut dan langsung membayarnya.

“Jadi kamu tipe orang yang punya kartu anggota?”

"Tentu saja. Aku membuatnya tepat setelah aku pindah. Aku biasanya membeli bahan-bahan dan deterjen di sini, jadi akan boros jika aku tidak memilikinya.”

Dia mengambil tas belanja dari tas sekolahnya dan memasukkan belanjaan ke dalamnya. Tas belanja itu dihiasi dengan gambar tangan beruang dan kelinci yang tampak menggemaskan.

Masing-masing memegang tas mereka dan meninggalkan mal. Mereka kembali ke jalan di tepi sungai yang lebar.

Belanja memakan waktu lebih lama dari yang direncanakan, dan jalanan telah diwarnai dengan warna dari matahari yang segera terbenam.

Warna kuning matahari terbenam dipantulkan oleh sungai, menciptakan pemandangan yang indah.

“Akane cukup serius ya.”

Saito menyuarakan pendapat jujurnya.

Akane memelototi Saito sambil berjalan di sampingnya.

"Kamu ingin mengatakan aku pelit, kan?"

"Tidak bukan itu. Kamu pasti akan menjadi istri yang hebat di masa depan.”

“Hah, haaaaaa!?”

Telinganya diwarnai warna merah.

Saito bisa merasakan ekspresinya berubah dengan cepat. Dia baru saja menemukan ekspresi baru dari gadis ini, yang selalu tersembunyi di bawah amarahnya.

Akane berbalik, dengan malu-malu dan berbisik.

“…Kita, sudah menikah.”

“Ah, itu benar…”

Saito menutup mulutnya dengan tangannya. Dia baru menyadari apa yang dia katakan sangat memalukan, dan bahkan dia sendiri tiba-tiba merasa panas.

Keduanya tidak bisa saling menatap lagi, dan terus berjalan di sepanjang jalan pulang ke rumah.



<    Sebelumnya    |    Index    |    Selanjutnya    >

You may like these posts

2 Komentar

  1. Lucifer
    Asupan gula
  2. aurlest-kunn
    Adududu gula nya ngab ngab