Kurasu no Daikiraina Joshi to Kekkon Suru Koto ni Natta Volume 1 - Chapter 3 (Part 2)

Chapter 3 - Memahami (Part 2)

Sepulang sekolah, Saito memutuskan untuk mengunjungi mall yang berada dekat dengan sekolahnya.

Dia berjalan dengan Shisei, melalui toko yang tak terhitung jumlahnya, toko udon, toko baju, toko pakaian barat, toko kelontong, atau pusat perbelanjaan, semua nya tercampur menjadi satu di tempat ini.

Shisei sedang mengunyah pangsit daging yang dia beli di sepanjang jalan. Karena tubuhnya yang kecil, dia mungkin membutuhkan asupan nutrisi yang banyak, seperti burung kecil yang banyak sekali makan.

“Sudah lama sejak aku berjalan-jalan dengan Ani-kun. Aku sangay senang."

Atau begitulah katanya, dengan wajah tanpa emosi yang seperti biasanya.

“Selalu ada perang di rumahku, jadi aku tidak bisa santai”

“Apakah kamu sudah berdamai dengan Akane?”

"Masih belum berakhir... tapi hari ini aku kesini untuk membeli hadiah rekonsiliasi."

"Seperti ini?"

Shisei menggosok ibu jari dan jari telunjuknya.

“Memberi uang sebagai hadiah adalah itikad buruk, bersikaplah realistis.”

“Bukan uang,tapi bola super.”

"Aku tidak berpikir dia terlalu kekanak-kanakan untuk senang ketika  menerima sebuah bola super."

“Tapi Shisei akan senang jika menerimanya.” Note : di raw cuman ditulis ‘Shisei senang’ agak gk jelas makanya w koreksi dikit

"Lain kali, aku akan membawakanmu banyak di festival."

“Hore. Janji."

Karena Shisei sudah melahap serbet yang disertakan dengan pangsitnya, Saito harus mengeluarkan serbet tersebut.

Ketika dulu Shisei masih muda — Meskipun saat in tubuhnya masih berukuran kecil — dia tidak pernah lupa ketika waktu itu Shisei makan banyak sekali kertas hingga dia pingsan. Apa yang dimakannya adalah lipatan kertas Origami. Shisei memohon kepadanya untuk membelikannya ketika dia pergi ke toko serba ada, dan dia berpikir dengan cara yang biasanya optimis bahwa “Dia pasti ingin bermain Origami”.

Tapi, bagian yang membuatnya ngeri adalah ketika dia memergoki Shisei sedang mengunyah kertas origami kuning terakhirnya. Saito segera membawanya ke kamar mandi untuk membuatnya memuntahkan kertas Origami tersebut, tapi alhasil saudaranya memergoki mereka karena terlalu berisik.

Pertama-tama, Saito ingin dia menyadari bahwa dia adalah manusia, bukan kambing.

“Aku berencana membeli beberapa kue sebagai hadiah. Aku tidak terlalu tahu/(berpengetahuan) tentang hal ini, tapi bukankah toko manisan populer di kalangan perempuan?”

"Kamu tidak mengerti perasaan seorang wanita."

"Bukankah kamu baru saja berbicara tentang memahami hati seorang gadis tempo hari?"

“Memahami hati gadis itu adalah satu hal, tapi Shise diusir ketika mencoba berbicara dengan orang lain tentang makanan manis….”

Awan gelap berkumpul di sekitar Shisei.

“Aahhh…”

Saito yakin. Dia dinilai tidak memiliki selera dalam makanan manis ataupun dalam hal pakaian kasual wanita.

“Itu pasti menyedihkan. Shise pasti ingin berbicara dengan teman-temanmu tentang makanan manis kan?”

"Tidak. Shise hanya ingin menyebarkan agama kanibalisme di dunia ini.”

“Itulah mengapa kamu dianggap sebagai alien.”

Saito menyesal telah mengasihaninya.

Ketika mereka sampai di area food court, ada aroma manis yang melayang-layang di depan.

Keduanya berjalan ke depan seolah terpesona akan aromanya.

Sebuah toko yang dicat dengan warna kuning cerah bertemu dengan mata mereka. Meskipun ini adalah toko kecil, ada antrean panjang orang yang menunggu. Menu yang digantung di luar memiliki bentuk seperti cake atau pancake.

“Tempat ini seharusnya baik-baik saja. Biarkan aku memesan beberapa untuk dibawa pulang. ”

"Shise ingin makan di dalam."

"Akan memakan waktu cukup lama menunggu meja kosong."

"Aku juga ingin makan manisan. Ani-kun hanya memperdulikan Akane, Shisei juga ingin diperdulikan/(ditraktir) oleh Ani-kun”

Shisei menggunakan kedua tangannya untuk menarik bagian dada Saito. Dia seperti kucing, yang sedang mengeong meminta makanan.

"Aku menyerah...apa yang kamu inginkan?"

“Kue gateau. Besar.”

“Bagaimana bisa begitu! Kamu baru saja makan pangsit sebelumnya! ”

Saito menghentikannya.

Tapi 30 menit kemudian, Shisei duduk di meja dan menghabiskan cokelat berukuran full-size dalam sekejap mata. Tidak hanya itu, dia menghabiskan yakisoba dan jus buahnya.

“Selesai!”

Shisei tampak bangga.

“Aku yakin seharusnya tidak ada yakisoba di dalam menu….”

Ini adalah toko permen.

"Aku memberitahu karyawan toko bahwa aku ingin makan yakisoba tidak perduli bagaimanapun caranya, jadi mereka langsung membuatkannya untukku."

"Karyawannya terlalu mudah dibujuk!"

Tapi dia bisa mengerti keinginannya untuk dimanjakan. Sosok Shisei dengan cokelat yang menempel di pipinya terlihat sangat imut dan polos, seperti seorang bidadari yang turun ke bumi.

“Kemana perginya cake sebesar itu…. Apakah ada semacam ruang aneh didalam perutmu atau semacamnya?”

Shisei menggunakan jarinya untuk menyeka cokelat dari mulutnya, lalu menjilat jari-jari itu.

Dia bertanya pada Saito dengan malu-malu sambil berbisik.

“Apakah kamu ingin mencoba dimakan oleh Shise?”

"Lepaskan aku."

Jika dia dengan mudahnya setuju, ada kemungkinan besar dia akan kacau di dunia nyata.

Ketika Saito pulang ke rumah, hari sudah senja.

Selubung kegelapan yang panjang dan tipis menutupi seluruh jalan, kecuali satu rumah.

Ketika Saito masuk ke dalam pintu, dia bisa mencium aroma makanan melalui lorong. Dia bisa mendengar suara peralatan dapur memantul satu sama lain, dan juga langkah kaki Akane di sekitar ruangan. Gadis itu sebenarnya cukup serius.

Saito mengeluarkan kotak dengan design yang elegan, jantungnya berdebar-debar.

Dia menyiapkan hadiah dengan harapan agar dia/(Akane) bisa melunakkan sikapnya walaupun sedikit saja, tapi bukankah rasanya dia/(Saito) terlalu terus terang? Tidakkah dia akan membencinya dan menganggap ini menjijikan? Itulah yang menjadi kekhawatirannya saat ini.

Dia ingin memeriksa apakah kue-nya terbalik atau berantakan ketika dalam perjalanan pulang, tapi pada akhirnya dia mengurungkan niatnya. Kotak itu disegel dengan stemple yang sangat cantik, akan sia-sia jika dia membukanya.

Saito pergi ke dapur dan memberikan Akane kotak itu.

“Aku membeli beberapa hadiah. Ini adalah cake kesukaanmu.”

“Eh….Hadiah? Untukku!?"

“Aah.”

"Bagaimana kamu tahu apa yang aku suka?!"

"Kamu menulisnya di esaimu pada tahun pertama kita bersekolah."

Akane menerima kotak itu, dia menunduk dan berbisik.

“Jadi kamu ingat sesuatu seperti itu, itu agak menyeramkan/(menakutkan)...”

"Jangan bilang itu menyeramkan!"

Saito tidak ingin berlama-lama di sini. Tentu saja, kamu tidak harus melakukan sesuatu yang tidak biasa kau lakukan. Melakukan suatu hal yang berlebihan hanya akan memperlebar jarak yang ada.

"Itu Karena, aku menulisnya disudut kertas, dan bahkan…tulisan yang saat itu kutulis pun, aku tidak begitu mengingatnya…”

“Maaf! Ingatanku terlalu bagus!”

Bahkan di dalam keluarga Houjou yang telah banyak memproduksi orang-orang bertalenta elit, Saito sangat luar biasa dalam kemampuannya untuk mengingat atau menghafal suatu hal. Dia tidak pernah melupakan sesuatu yang dia baca, bahkan jika itu hanya sekali.

“T, tapi,…”

Pipi Akane diwarnai dengan warna merah seperti apel.

Dari bibir itu muncul beberapa kata yang membingungkan.

"…Terima kasih."

Dan, dia dengan lembut memeluk kotak kue tersebut.

-Kuh~………Itu menggemaskan.

Saito tersentak karena dia merasakan serangan itu secara langsung.

Akane adalah seorang iblis, tidak mungkin dia bisa membuat ekspresi seperti itu. Dia berpikir jika itu adalah Akane yang dia kenal, dia akan mengembalikan kotak itu bersama dengan beberapa keluhan.

Tapi yang dia lihat adalah sebaliknya, ekspresi yang dia tunjukkan padanya sekarang membawa kekuatan penghancur yang sangat besar.

Saito bingung, sebenarnya siapa orang ini.

Akane dengan ekspresi gembiranya membawa kotak itu ke meja dapur. Dia dengan lembut melepas segelnya, membuka kotak itu dan berseru dengan gembira.

Cake yang tampak lezat! Lapisan krimnya terlihat sangat lembut~! Dan stroberinya besar sekali!”

“Istirahatlah terlebih dahulu, oke?.”

Saito hendak mengambil garpu dari lemari untuk Akane, tapi dia menggunakan tangannya untuk menahan pinggangnya dan memarahinya.

"Tidak bisa, kita masih makan malam. Akan merepotkan jika kita tidak bisa memakan makanan yang aku siapkan, kan? Cuci tanganmu dan tunggu aku sebentar.”

“Baiklah”

Cara dia memarahi Saito sedikit berbeda dari biasanya, kata-katanya tidak tajam seperti biasanya. Akane dengan senang hati menutup kotak itu dan meletakkannya di lemari es. Sepertinya rencananya untuk memberikan hadiah berhasil.

Sedikit terkejut akan hal itu, Saito pergi untuk mencuci tangannya dan menyimpan tasnya.

Sementara dia menunggu di sofa, Akane menyajikan makanannya.

Makan malam hari ini adalah Omurice dengan topping krim, sup sayuran, dan ayam panggang dengan sayuran. Aroma dari minyak zaitun menyebar ke seluruh ruangan.

“Jadi hari ini makanan barat, huh…. Sepertinya kamu berusaha keras untuk ini.”

“Aku akan membiarkanmu memahami keahlianku. Ayo, makanlah."

Akane mengamati reaksi Saito.

—Dia tidak memasukkan racun, kan...?

Saito mengambil sesendok omurice dan memasukkannya ke dalam mulutnya.

Telur yang cair dicampur ke dalam saus krim, menghasilkan rasa yang lezat.

Nasinya diperkaya dengan thyme dan merica, daripada dengan saus tomat, dan daging lembut dari udangnya terkesan seperti melayang-layang di dalam mulutnya.

Hidangannya seperti sebuah mahakarya, tak tertandingi bahkan oleh restoran seorang profesional, dan fakta bahwa ini dibuat oleh siswa sekolah menengah membuatnya semakin sulit dipercaya.

"Bagaimana? Apakah kamu sudah menyerah pada masakanku? Apakah enak? Lezat, kan?"

Akane bersandar ke meja, dan bertanya kepadanya.

"……Sangat Enak."

Itu adalah pendapat jujurnya.

“B, begitu…. Itu bagus."

Akane mengangkat dagunya dengan tangan di atas meja dan memberinya senyum yang menyilaukan. Aura lembut dari senyum itu sekali lagi menyerang Saito.

"Kau…Siapa kau?"

Dia tiba-tiba menanyakan pertanyaan itu.

Itu membuat gadis itu berkedip.

“Apa maksudmu siapa? Aku Akane, Sakuramori Akane.”

“Tidak, ini aneh. Gadis itu adalah seseorang yang akan mengatakan sesuatu seperti 'Aku tidak suka dipuji seperti itu' dan akan melemparkan garpu ke wajahku ketika aku memujinya!"

“Orang mengerikan macam apa itu! Aku tidak ingin melakukan hal semacam itu meskipun hanya sekali!”

Akane dengan marah mengangkat piringnya.

"Lihat? kamu mencoba melakukannya! Dan ada sup panas di sana!”

“Tidak ada bedanya memakannya dari piring atau memakannya langsung dari wajahmu.”

"Terdapat sebuah perbedaan yang besar! Baiklah baiklah, jatuhkan senjatamu, aku ingin menikmati makananmu dengan tenang.”

Mendengarkan permohonan Saito, Akane meletakkan piring itu ke bawah.

Dia berbalik, bahunya terangkat dengan perasaan cemas.

“Eh, erm… Jika kamu benar-benar ingin memakannya, maka cepatlah. Kalau tidak, itu akan menjadi dingin.”

"Oh ya…"

Dia tidak yakin dengan siapa dia berbicara. Mungkin ada penyusup ilegal yang memakai kulit Akane.

—Jika demikian, maka Akane pasti…

Saito berhati-hati, dan melihat ke bawah pada sup sayuran. Gelembung-gelembung terbentuk di dalam mangkuk sup tomat yang masih panas.

Dia menggunakan sendoknya untuk menyendok sup dan memasukkannya ke dalam mulutnya.

Rasa bawangnya berpadu serasi dengan rasa asam tomat. Berbagai jenis sayuran dipotong dengan rapi dan merata, serta sayuran yang ada memberikan energi ke seluruh tubuh. Dan juga, daging babi yang renyah juga memberikan rasa yang memuaskan.

“…yang ini juga enak.”

"Benar, kan? Aku tidak akan pernah membiarkanmu mengatakan 'normal' lagi!"

Akane dengan penh kemenangan menyesap sup sayuran dan membakar mulutnya sendiri.

“Panas~”

Dan dia mencoba untuk minum air. Dia juga terburu-buru, alhasil dia tersedak  dan matanya berair.

"Apakah kamu baik baik saja?"

Akane memelototi Saito yang mulai khawatir.

"Tentu saja! Jangan berpikir kamu sudah menang!"

“Apa yang sebenarnya sedang kamu pikirkan…”

Tapi kebenciannya untuk tidak ingin kalah dari Saito masih tetap ada.

Dan Saito lega bahwa dia masih seperti Akane yang dia kenal.

Makan malam yang langka itu berakhir dengan damai.

Saito berencana untuk kembali ke kamarnya untuk membaca buku, tapi dia tiba-tiba menyadari sesuatu ketika dia melangkah keluar ke lorong.

Dia mengingat kembali ketika mereka berbicara, Akane marah karena dia meninggalkan cucian yang menumpuk. Dia benar-benar ingin bersantai setelah makan malam, tetapi dia juga ingin meningkatkan hubungannya dengan Akane.

Saito menghela nafas pelan dan melangkah ke dapur.

Tidak seperti kehidupannya yang dipenuhi hanya dengan sebuah dispenser kotor, memasak ternyata benar-benar membutuhkan banyak peralatan. Melihat tumpukan piring dan mangkuk membuatnya kewalahan, tetapi keinginannya mendorongnya ke depan.

Saito membiarkan air mengalir dan mencuci mangkuk kotor, tepat ketika Akane berjalan ke dapur.

"Hari ini seharusnya adalah tugasmu untuk mencuci, tetapi aku akan membantumu."

“Apa yang kamu rencanakan?”

Kebaikannya yang tak terduga membuatnya curiga.

“Aku tidak punya rencana apapun! Aku hanya berpikir bahwa tampaknya sulit bagimu untuk menangani begitu banyak hal! ”

"Apakah kamu tipe orang yang peduli dengan apa yang dipikirkan orang lain..."

“Kamu mengatakan sesuatu yang sangat kasar, tahu!?”

“Ah tidak, aku mengerti itu. Kamu kehilangan motivasi untuk melemparkan garpu sebelumnya, jadi kamu ingin membalas dendam dengan melemparkannya sekarang...dari jarak yang begitu dekat. ”

“Aku tidak akan melemparkan apapun padamu! Patuhlah dan terima kebaikanku! ”

Akane mencengkeram spons dan memelototi Saito. Tampaknya dia benar-benar ingin membantu Saito. Dan sepertinya Akane juga mencoba untuk lebih dekat dengan Saito.

Niat baik yang tak terduga dari seseorang yang berdebat dengannya sejak tahun pertama membuat Saito menangis.

“Hei, tunggu, kenapa kamu menangis!? Aku, aku tidak melakukan hal buruk!? Aku hanya menyatakan niat baikku!? ”

"Jadi kamu tipe orang yang bisa melakukannya jika kamu mencoba ..."

"Bagaimana kamu melihatku sebelumnya?"

"Tidak banyak. Mari kita berusaha sekuat tenaga mulai sekarang. ”

“Kamu pasti meremehkanku,kan!? Jika kamu tidak menginginkannya, aku tidak akan memaksakan bantuanku padamu lagi!”

Saito tersenyum lembut.

“Kamu telah membantuku. Terima kasih."

"Fu fu ~, tidak apa-apa!"

Akane tersenyum bangga.

Saito selalu hanya dapat melihat wajah marah dari gadis muda ini, dia terlihat sangat imut ketika dia sedang tersenyum. Matanya berbinar, dan pipinya agak merah.

Dia sangat cantik ketika dia sedang diam, bahkan dia sangat populer di sekolah.

Tapi sekarang, Saito tahu, bahwa gadis ini paling manis ketika dia sedang tersenyum.

Bagaimanapun, dia ditunjukkan seperti itu.

“Biarkan aku membilas nya, kamu hanya tinggal mencuci nya saja. Gelembung yang kamu buat terlihat mengganggu. Jika kamu menyisakan cairan pencuci piring, itu akan buruk bagi tubuh, kan?.”

“Ah, baiklah.”

Saito memberikannya pada Akane yang berdiri tepat disampingnya.

Area dapurnya besar, tetapi jika dua orang berdiri di wastafel sekaligus pasti akan menjadi sempit. Dihadapan gadis yang sedang mencuci piring di jarak yang sedekat ini yang bahkan lengannya hampir bersentuhan satu sama lain, Saito akhirnya sadar untuk pertama kalinya bahwa “Aku sedang hidup bersama dengan seorang gadis”.

Ini adalah perasaan yang luar biasa. Ini bukan hari pertama mereka hidup bersama, tapi, mungkin karena pertengkaran mereka sehari-hari, dia tidak pernah bisa melihatnya sebagai lawan jenis.

Tapi, begitu dia menyadarinya, perubahannya sangat jelas.

Dia secara tidak sadar diam-diam melirik ke sisi lain dari wajah Akane saat dia sedang membilas piring. Akane dengan serius berkonsentrasi pada piring, sambil sedikit tersipu. Gadis ini selalu memberikan segalanya untuk semua yang dia lakukan.

"…Apa?"

Menyadari tatapan Saito, Akane memelototinya dengan curiga.

“Tidak… aku hanya berpikir bahwa kamu cukup mahir dalam pekerjaan rumah.”

“Jadi begitu. Orang tua-ku selalu sibuk sepanjang waktu, jadi aku yang bertanggung jawab atas semua pekerjaan rumah dan memasak. Aku bahkan bisa membuat kari sejak tahun pertamaku di sekolah dasar.”

“Kerja bagus.”

Dipuji oleh Saito, telinga Akane memerah.

“A, apa maksudmu bagus? Kari hanya melibatkan memotong sayuran, dan dapat dimasak dengan bumbu penyedap buatan. Bahkan seekor kera pun bisa melakukannya.”

“Bagaimana caranya kera bisa memasak? Faktanya, aku tidak bisa melakukannya. ”

"Kamu lebih buruk dari kera kalau begitu."

“Jangan terlalu berlebihan.”

“Itu tidak berlebihan. Seekor kera bahkan cukup pintar untuk dapat mengupas kulit pisang.”

"Sial, mereka pintar."

Mereka berbicara sambil terus bekerja.

Ini mungkin pertama kalinya dia bisa berbicara secara normal dengan Akane yang tidak melibatkan pertengkaran apa pun. Jika mereka bisa terus seperti ini, waktu bersama mereka mungkin tidak akan terlalu menyakitkan.

-Sebaliknya….

Sementara Saito memikirkan hal tersebut, dia tidak sadar bahwa baju dan piring yang harus dibersihkan telah diselesaikan.

“Seperti yang diharapkan, akan lebih cepat jika kita mengerjakannya berdua."

Dihadapan peralatan makan yang telah bersih mengkilap, Akane menegaskannya dengan rasa puas.

Saito tiba-tiba ingat. Bahkan di sekolah, Akane selalu bertanggung jawab dalam melakukan tugasnya, biasanya ketika dia selesai menghapus papan tulis sampai tidak ada noda sedikitpun dia merasa puas akan hal itu.

Sementara yang lain hanya melakukan tugas mereka setengah-setengah atau menyerahkan tugas itu pada orang lain, dia belum pernah melihat Akane melewatkan pekerjaannya.

–Gadis ini cukup bertanggung jawab, ya.

Saito sekali lagi merasakannya.

Untuk seseorang dengan kepribadian berdarah panas, dia selalu membuat orang lain di sekitarnya marah, tapi pada dasarnya tidak seburuk itu. Tapi bagi seseorang yang tahu semua kelebihannya, seperti Himari misalnya, mereka bisa menikmati waktu bersama Akane sepanjang waktu.

Setelah menata ulang piring yang telah dicuci, Saito akhirnya bisa menghabiskan waktu di bukunya.

Dia tidak mengerti mengapa, tetapi hari ini, dia membaca di ruang tamu daripada mengunci diri di kamarnya sendiri. Tampaknya dia merasa bahwa dia tidak keberatan untuk tinggal lebih lama dan berbagi ruang dengannya.

Dan Akane memasuki lingkungan tersebut.

Dia menyembunyikan tangannya di belakang badannya dan melirik ke Saito.

“H, hei. Buku itu, apakah kamu benar-benar harus menyelesaikannya malam ini?”

"Aku tidak punya rencana untuk melakukannya... Tapi kenapa?"

Saito mendongak untuk melihat wajah Akane.

Akane dengan gugup mengangkat bahunya.

“E, etto… sebenarnya, Aku menemukan film yang menarik di toko persewaan film, jadi aku menyewanya…”

“Kau ingin menggunakan TV? Jika kamu keberatan maka aku akan kembali ke kamarku ”

Saito berdiri.

“Aa~, bukan seperti itu! Kamu bisa tetap di sini! ”

Akane menariknya kembali.

“Aku tidak bisa berkonsentrasi untuk membaca, ketika filmnya dimulai.”

“Itu sebabnya, seperti, etto,…ini!”

Akane mengulurkan kotak bluray kepada Saito. Momentumnya begitu hebat sehingga dia hampir menghancurkan hidung Saito jadi dia mundur satu langkah.

Hampir saja terjadi bencana. Jantung Saito berdetak kencang.

“Mungkinkah…kamu ingin menontonnya bersamaku?”

"Aku, bukannya aku ingin kau menontonnya bersamaku atau apa!"

Akane berbalik.

"Terus? Aku tidak mengerti maksudmu."

“Hey~, penting bagi kita untuk saling memahami, kan~? Jika kamu menonton film yang kusukai, kamu mungkin dapat lebih memahami saya, dan mungkin juga hal ini dapat mengurangi tingkat stress-ku? Kita sebenarnya tidak harus menontonnya bersama, tapi karena aku menontonnya sekarang, bukankah akan lebih efisien jika kita berdua menontonnya secara terpisah?”

"Itulah yang mereka sebut 'menonton bersama'."

“U-Ummm…”

Wajah Akane memerah, dan dia memeluk kotak itu erat-erat. Dia tampak malu telah mengundang Saito untuk menonton film bersamanya.

Tapi, ini adalah pertumbuhan besar dalam dirinya, karena berpikir tentang menghabiskan waktu bersama untuk memperdalam ikatan mereka. Niat baik harus dibalas dengan niat baik.

Saito dengan bersemangat menutup bukunya.

“Baiklah, mari kita lihat. Dan juga, film apa itu?”

Akane menyerahkan kotak bluray kepada Saito.

“Ini adalah ‘Mengikuti Kehidupan Kucing Selama 24 Jam~ Otentik Tanpa Cut~

“……….~”

Saito bergidik.

"Ada apa? Jadi kamu tidak ingin menontonnya sama sekali”

Akane langsung berubah murung.

“T, t, tidak, bukannya aku tidak ingin menontonnya…. Tapi tentunya mereka tidak merekam semuanya selama 24 jam di sini kan?”

“Tentu saja mereka melakukannya. Barang ini seharga 100 yen. ”

“Itu total 1440 menit!!”

Akane menyipitkan matanya pada kaset blu-ray tersebut.

“Ah ~, mereka juga memasukkan pilihan terbaik. Durasinya 3 jam dengan adegan-adegan yang sangat imut.”

"Kalau begitu tolong mainkan itu sebagai gantinya..."

Meski begitu, masih menakutkan untuk mengetahui bahwa itu berlangsung selama 3 jam.

Saito dan Akane bersandar di sofa dan mulai menonton.

Apa yang ditampilkan di layar besar di depan mereka? Kucing, kucing, dan banyak kucing.

Judul dari kaset tersebut benar-benar mengatakan segalanya, tidak ada plot ataupun akting, hanya ada catatan keseharian tentang kucing. Dan juga, tidak ada tanda-tanda manusia.

—Apakah ini benar-benar film...?

Saito bertanya dalam pikirannya, sambil melihat ke arah Akane. Dia bisa melihat matanya berbinar, saat dia berkonsentrasi penuh pada TV.

Bobcat yang tadi sangat imut, tapi kucing American shorthair ini juga menggemaskan! Aku ingin tahu kucing mana yang akan mereka tunjukkan selanjutnya!? Aku tidak sabar!”

Dia berada di tepi sofa menunggu adegan berikutnya.

Ini hanyalah film yang berisi dengan kucing yang berjalan, berlari dan melompat-lompat, bagaimana bisa dia/(Akane) merasa gugup ketika menunggu momen/(Adegan) selanjutnya?. Rasanya semakin sulit untuk mengerti jalan pikirnya/(keadaan mentalnya) daripada memahami nya lebih dalam.

Ini adalah waktu langka bagi mereka untuk bersama, jadi Saito mengeluarkan cake yang telah dibelinya tadi dan menyeduh the merah. Sudah lama sekali sejak dia minum teh yang tidak disiapkan dari botol plastik.

Akane menggunakan garpu untuk memotong sepotong kecil cake dengan lembut dan memasukkannya ke dalam mulutnya.

“Fuwa~, enak~! Kucingnya sangat imut~! Aku bahagia~!”

Senyum mengembang di wajahnya, dengan kekuatan yang cukup besar untuk dapat membuatnya meleleh. Ini adalah pertama kalinya Saito melihat Akane sebahagia ini, dan dia merasa senang dengan dirinya sendiri karena dia telah membeli kue tersebut.

Akane memakan cake tersebut sambil menonton film, tapi dia meninggalkan strawberrynya untuk bagian akhir. Dia dengan hati-hati menghindari area di bawah stroberi.

"Strawberry itu, jika kamu tidak menyukainya, aku bisa memakannya untukmu."

Saito mengangkat garpunya untuk mengambil stroberi tersebut, tapi Akane dengan cepat menutupi piringnya.

“Aku tidak bilang aku tidak mau! Aku hanya ingin meninggalkan bagian yang terbaik untuk yang terakhir!”

"Tapi bukankah kamu seharusnya makan bagian yang lebih enak saat kamu lapar, bukankah begitu lebih baik."

“Sebenarnya, ketika kamu makan makanan yang kamu suka akan terasa lebih enak jika kamu tidak terburu-buru menghabiskanya. Bahkan melihatnya akan membuatmu puas.”

"Kamu telah melihatnya cukup lama, aku akan mengambilnya."

"Apakah kamu tidak punya hati? Aku akan membunuhmu !"

Karena Saito mengulurkan garpunya, Akane mencoba untuk mengambil garpunya dari tangan Saito. Dia pasti sangat menyukai stroberi, karena dia sekarang sepenuhnya waspada.

Layar dengan acuh tak acuh bermain kucing berlarian.

Mereka mengejar kupu-kupu, atau bermain-main dengan bunga, memberikan pemandangan yang damai.

Ketika dia memakan cakenya, Saito masih tetap sadar, tetapi ketika cake tersebut sudah habis, dia merasakan rasa Lelah yang samar-samar.

Tapi, dia tidak bisa tertidur di sini. Jika itu terjadi, mencoba untuk lebih dekat dengan Akane akan sia-sia. Itu akan membuat Akane kecewa dan marah.

—Baiklah, ini hanya menyisakan satu pilihan.

Saito menggigit bibirnya, menggunakan rasa sakit untuk melawan rasa kantuk.

"Tunggu!? Mulutmu berdarah!?”

"Jangan khawatir. Itu hanya darah.”

“Tentu saja aku khawatir!. Apa yang salah?! Apakah kamu sakit?”

"Tidak apa-apa, hanya saja ada peniti di kuenya."

“Tapi hanya aku yang memakan seluruh kuenya!?”

Akane bingung, tetapi rasa kantuknya semakin memburuk membuat suaranya semakin jauh.

Mungkin kedamaian sesaat dalam hubungan berbatu mereka yang membuatnya merasa begitu santai seperti ini.

“Sialan~, bagaimana bisa aku tidur di sini! Bangunlah, bung!”

Saito menusuk tangan kirinya dengan garpu yang dia pegang.

"Apa yang sedang kamu lakukan!? Apakah kamu tiba-tiba menjadi gila!?”

Dan Akane merebut garpu itu dari tangan Saito.

Sudah 3 jam sejak film dimulai, dan Saito tertidur lelap.

Tapi, karena keyakinannya yang teguh, hanya matanya saja yang terbuka lebar. Bola matanya sekarang benar-benar kering.

“Ha~, itu menarik~. Mari kita tonton 24 jam penuh lain kali!”

“……~”

Dia merasakan bahwa sepertinya dia mendengar kata-kata yang mengerikan melalui telinganya, Saito tiba-tiba langsung terbangun. Dikarenakan dia berulang kali menggigit bibirnya, mulutnya sekarang dipenuhi dengan bau besi.

“D, dimana ini…? Rasi bintang Alpha Centauri….?”

“Ini adalah Bumi. Apakah kamu benar-benar baik-baik saja?”

"Betulkah…Aku terselamatkan…”

Saito menyeka darah dari mulutnya. Dia tidak sengaja tertidur, tapi untungnya Akane tidak menyadarinya. Akane dengan senang hati mengeluarkan kaset dari playernya.

"Kamu telah menonton film yang aku suka, jadi aku akan menonton film yang kamu suka lain kali."

“Jika itu bukan film, tapi game maka tidak apa-apa bagiku.”

Dia tidak tahan lagi hanya menonton layar dan tidak melakukan apa-apa.

“Tapi aku jarang bermain game…”

“Apa game yang pernah kamu mainkan?”

“Beberapa game pra-instal di komputer. Permainan Minesweeper.”

"Itu sama saja bahwa kamu tidak memiliki pengalaman bermain game."

Akane mengerutkan alisnya.

“Aku selalu meledakkan ranjau pada percobaan pertamaku, jadi aku membencinya. Itu selalu mengejutkanku.”

"Itu tidak akan menyenangkan jika kamu tahu kapan itu akan meledak."

"Aku tahu, tapi aku tidak menyukainya. Aku tidak suka ketika game mempermainkanku.”

Memang benar bahwa Akane menyimpan permusuhan terhadap game.

“Cobalah beberapa permainan lain, mungkin. Aku akan menunjukkan kepadamu beberapa yang mungkin kamu sukai. ”

“Bahkan jika dunia ini terbalik, aku tidak akan terjebak dalam permainan.”

Akane tertawa seolah dia meremehkan permainan tersebut.

30 menit kemudian.

“T, tunggu! Kamu baru saja bermain curang! Menembakku saat aku sedang memanjat itu sangat buruk, jadi itu curang! Lawan aku dengan adil!”

Akane mengarahkan 100% fokusnya pada pengontrol.

Game yang diputar di TV adalah game pertarungan di mana karakter yang berbeda dari banyak seri yang berbeda berkumpul dan bertarung di medan perang yang kacau. Pendekar pedang yang Akane pilih ditembak oleh seorang pria bersenjata dan terlempar dari arena.

“Di medan perang yang kejam seperti ini, tidak ada aturan atau alasan. Menyerahlah."

“…..~~!!”

Akane gemetar dengan air mata di matanya. Pengontrol yang dipegangnya tampak seperti akan hancur.

"Kamu menangis, kupikir sudah waktunya untuk istirahat."

"Aku tidak menangis! Sangat rendah mencoba untuk pergi setelah menang! ”

"Aku tidak mencoba untuk pergi, tetapi kamu tidak memiliki kesempatan untuk menang melawanku."

“Jangan bicara sesuatu yang tidak masuk akal! Satu kali lagi! Satu ronde lagi!"

Saito mencoba mengambil pengontrol itu darinya tetapi dia tidak menolaknya. Meskipun dia dengan percaya diri menyatakan bahwa dia tidak akan terjebak, tapi bagaimana keadaannya sekarang.

Saito memukulinya karakternya sampai hitam dan biru seperti ini mungkin akan membuat hubungan suami dan istri mereka memburuk jadi Saito memberinya sebuah tips.

“Game ini memiliki item. Pilih yang muncul di sebelahmu dan gunakan itu. ”

“Aku tidak bisa melakukannya jika kamu mengambilnya terlebih dahulu! Mari kita bagi item agar lebih seimbang. ”

"Tidak tidak…. Ini bukan lagi permainan jika kita membaginya. Selain itu, pemain baru harus menggunakan karakter yang lebih kuat, dengan kemampuan dan mobilitas yang lebih tinggi. Ada orang-orang yang bisa mengalahkan orang lain dalam satu pukulan.”

Akane cemberut.

“Tidak ada kesenangan dalam menang dengan sebuah keuntungan?. kamu harus menang melalui keterampilanmu sendiri.”

“Justru karena kamu tidak memilikinya, aku menawarkanmu kesempatan!”

“Aku, aku punya keterampilan! Itu hanya belum tumbuh! ”

Dia marah dan terus kembali melawannya.

Bahkan setelah 1 dan 2 jam berlalu, dia tidak bisa menang kecuali satu pertandingan, dan suasana hatinya memburuk.

“hic ~..hic~… aku, aku belum menyerah…”

Dia menggunakan lengan bajunya untuk menyeka air matanya, tanpa niat untuk berhenti.

“Ne~, apakah kamu berencana untuk melanjutkan ini sampai pagi dan melewatkan tidur…?”

"Bagaimana aku bisa tidur jika seperti ini ... Bagaimana aku bisa melakukannya jika aku terus disiksa seperti ini ..."

“Serius…”

Saito berada di batas kemampuannya, dialah yang menyarankan untuk bermain game, jadi dia tidak bisa mengakhirinya dengan alasan yang tidak masuk akal di tengah jalan seperti ini.

Penglihatannya kabur karena terlalu lama menatap layar, dan rasa kantuk menyerang.

Kesadarannya hilang seketika.

Ketika dia sadar, karakter Akane bersinar pelangi dan dengan cepat terus mengcombo karakter Saito.

Tidak, ini tidak bisa disebut kombo.

Itu hanyalah beberapa campuran dari kemarahan yang menumpuk. Dibawa oleh semburan amarah seperti badai.

Dia menekan semua tombol dengan amarahnya, meskipun itu hanyalah Gerakan yang sederhana, tapi Gerakannya memiliki kerusakan yang terus meningkat.

“Kuh~, sejak kapan!”

"Terlalu lambat!"

Saito mencoba memblokir, tetapi pedang karakter Akane bersinar dan mengayunkan tebasan terakhir dalam kombo. Karakter Saito diterbangkan ke layar, dan jatuh dengan api yang megah.

“Hore~! Aku berhasil! Aku akhirnya menang! Aku menang!"

Akane dengan bersemangat melompat-lompat. Dia seperti anak kecil yang sangat gembira.

"Keyakinan yang menakutkan ..."

Saito tersenyum pahit. Dia tidak merasa kesal setelah kalah. Lebih tepatnya, dia merasa lega. Dia akhirnya terselamatkan, dan akhirnya bisa tidur sekarang.

Akane bersandar di sofa, terengah-engah dengan puas.

“Haa! … Itu tadi menyenangkan…"

“Bagaimana rasanya, bersenang-senang bermain game.”

Digoda oleh Saito, Akane membuat wajah 'ups'.

“Aku, aku tidak bersenang-senang! Aku hanya merasa sengsara!”

"Lalu, akan lebih baik jika kita tidak bermain lagi mulai sekarang?"

“Kita benar-benar harus bermain lagi! Sampai pertempuran berikutnya, aku akan meneliti trik baru, melatih kombo soloku, dan akan menjadi sangat kuat sehingga aku akan memberimu kekalahan sempurna disaat berikutnya kita bermain.”

"Apakah kamu ingin merusak hatiku?"

“Aku ingin menghancurkannya. Sampai-sampai kamu bahkan tidak bisa berdiri lagi.”

Akane meregangkan bahunya. Pipinya memancarkan kegembiraan.

Saito mengumpulkan pengontrolnya.

Meskipun diperlakukan dengan mengerikan, pengontrolnya masih baik-baik saja. Tidak heran mengapa mereka mengiklankannya sebagai tidak dapat dipecahkan bahkan setelah digulingkan oleh sebuah tangki. Hanya saja, controller memiliki bekas gigitan Akane ketika dia kesal dan menggigitnya.

Akane membawa hidangan kue ke dapur.

"Aku akan mencuci piring."

“Aku bisa melakukannya jika hanya sebanyak itu. Kamu bisa mandi.”

"Aku mandi supaya kamu bisa mengintip?"

"Aku tidak punya niat untuk melakukan itu!"

"Siapa tahu? Bicara tentang mengintip, kamu bahkan menerobos ke kamar mandi sekali…”

Akane menyipitkan matanya dan memelototinya.

"Itu darurat!"

Saito tiba-tiba merasa sedih. Dia benar-benar tidak bersalah, tetapi pikirannya membuatnya mengingat Kembali gambaran dari tubuh seorang gadis yang sedang telanjang, membuatnya sangat kecewa pada dirinya sendiri.

Akane terlihat kesal dan mengangkat bahu.

“Tentang waktu itu… yah…”

“Yah apa?”

“T, tidak ada~!”

Dan Akane bergegas pergi. Telinganya sekarang merah.

Ketika dia sedang mencuci piring di wastafel, Saito terkejut mengetahui dirinya sedang menyenandungkan sebuah lagu.

Fakta bahwa dia harus bermain-main dengan Akane di lain hari membuatnya merasa cemas, tetapi dia tidak terlalu memikirkannya. Melihat Akane yang tidak ingin kalah tersenyum cerah di wajahnya membuat Saito menanti-nantikan pertandingan selanjutnya.

Dia tidak menyangka akan bersenang-senang dengan musuh bebuyutannya seperti itu.

Itu adalah penemuan baru – yang agak menakutkan, untuk satu atau lain cara.

Kamar tidur diterangi dengan cahaya oranye.

Saito tiba-tiba membuka matanya dan bangun, dia menatap kosong ke langit-langit.

Dia bisa mendengar napas lembut Akane di sebelahnya. Sepertinya dia lelah dari  menonton film dan sesi permainan yang antusias, bahwa Akane langsung tertidur ketika dia berbaring di tempat tidur.

Dia akhirnya mulai hidup bersama dengan teman sekelasnya, meskipun hanya sebentar, waktu yang mereka habiskan bersama akan meningkat dari sekarang hingga sisa hidup mereka.

Dia mengarahkan pandangannya ke Akane, dan menemukan bahwa tubuhnya tidak sepenuhnya tertutup oleh futon. Tangan kecilnya terlihat lucu. Biasanya Saito akan meninggalkannya, tapi hari ini,

—Apakah dia tidak masuk angin jika terus seperti ini?

Atau begitulah pikirnya.

Untuk tidak membangunkan Akane, dia dengan lembut menutupi futon di atas tubuhnya. Dia berbalik, punggungnya menghadap punggungnya, mencoba jatuh kembali ke dunia mimpi.

Tapi, kemudian, dia bisa mendengar bisikan malu-malu datang dari belakangnya.

"…Terima kasih."

"K, kamu sudah bangun?"

“… um. Untuk sementara ini."

"Jadi…"

Malu karena ketahuan melakukan hal-hal yang biasanya tidak dia lakukan, wajah Saito terasa panas.

Keduanya sekarang dengan malu-malu menggeliat di tempat tidur.

—Hari ini adalah hari yang aneh…

Saito bisa merasakan jantungnya berdetak lebih cepat.

Selain Shisei yang dia anggap sebagai saudara perempuan, dia yakin ini tidak akan pernah terjadi pada orang seperti Akane. Dia bertanya-tanya apakah beberapa sekrup internalnya kendur karena dia sedang lelah.

Dan ternyata Akane juga merasakan hal yang sama, ini adalah situasi yang gila.

"Aku haus. Mau air.”

Dia berbisik, seolah waktu berasa abadi.

“Ah, tentu.”

Saito bangun dari tempat tidur, pergi ke dispenser dan menuangkan air ke dalam gleas.

Akane duduk di tepi, dan membelai kakinya yang telanjang di lantai, tampak bosan.

Rambutnya acak-acakan, dan dia mengenakan piyama dengan kancing yang sedikit terbuka untuk membiarkan udara masuk.

"Ini. Jangan sampai tumpah.”

Saito duduk di samping Akane dan memberinya gelas.

Akane menerimanya dengan kedua tangan dan meminumnya.

Dia mendengar suara air yang ditelan oleh teman sekelasnya.

Malam yang gelap benar-benar sunyi.

Di kamar tidur besar yang hampa ini, Saito dibuat lebih sadar akan keberadaan Akane di sampingnya.

"Kenapa, kau menatapku seperti itu?."

“Tidak… tidak ada.”

Tertangkap menatap Akane, Saito berbalik. Tindakan itu sebelumnya adalah sesuatu yang bahkan dia sendiri tidak bisa jelaskan. Jarang sekali orang seperti Saito bingung dengan tindakannya sendiri.

"Terima kasih, untuk airnya."

"Ya."

Kemudian keduanya kembali ke futon.

Punggung mereka tumpang tindih, tapi Akane tidak mengeluh sekali pun malam ini. Melalui kasur yang membungkus mereka berdua, kehangatan dan aromanya ditransmisikan kepadanya.

Lampu dari smartphone padam. Mereka bisa mendengar suara air dari dispenser.

Sepertinya mereka tidak akan bisa langsung tertidur, Saito mengatakan sesuatu untuk memecah kesunyian.

“Lain kali, kamu bisa membeli game yang kamu suka. Aku juga akan menemukan film yang kusukai.”

"….Bukan ‘kamu'."

Dia berkata, dengan nada yang tidak puas.

“Eh?”

“Aku merasa diremehkan karena dipanggil 'kamu'. Panggil namaku… dengan benar.”

"Sakuramori?

“Bukan nama keluargaku.”

Saito menarik napas dalam. Dia merasa sulit bernapas karena suatu alasan.

“…Akane.”

"Apa, Saito."

Suaranya dipenuhi dengan sebagian rasa manis, sebagian rasa malu.

"…Tidak ada."

"…Um."

Punggung mereka bersentuhan, terasa panas.

Selama waktu istirahat, Saito sedang tidur di meja.

Bahkan dengan orang lain di sekitarnya, dia ceroboh, dan air liur keluar dari mulutnya. Dari sudut buku catatan di atas meja, pensil dan penghapus berjatuhan ke lantai.

Tanpa sepatah kata pun untuk menggambarkan kecerobohan itu, Akane datang dan mengambilnya. Dengan sedikit kesal, dia menggunakan pensil itu untuk menusuk kepala Saito.

"Kamu menjatuhkan ini."

“Un~….? Ah, terima kasih.”

Saito berkedip dan mengucapkan terima kasih.

“……”

Akane tidak mengatakan apa-apa, melewati Saito dan kembali ke mejanya.

Dia tidak bisa menenangkan dirinya.

Baru-baru ini, ketika Saito mengucapkan terima kasih, tidak tahu mengapa tapi hatinya terasa gatal.

Pertama kali diberi ucapan terima kasih oleh Saito, orang yang terus berdebat dengannya, dia merasa sangat nyaman. Dan dia/(Akane) ingin bahwa dia lebih dan lebih berterima kasih padanya.

Dia pasti membencinya, tapi ada apa dengan emosi ini. Akane bahkan tidak bisa memahami dirinya sendiri, dan dia menggunakan tangannya untuk menutupi pipinya yang terbakar.

Himari duduk di depan Akane.

“Akane, apakah kamu bertengkar lagi dengan Saito?”

Meskipun mereka sudah sedikit perdebatan yang mereka lakukan akhir-akhir ini, tapi entah kenapa rasanya itu adalah pertanyaan yang aneh

“Tidak ada yang berubah jika kita terus berdebat seperti itu…”

Jawaban bingung Akane membuat Himari berpikir.

“Tidak~, tidak bukan seperti itu~. Aku merasa bahwa beberapa argumen baru-baru ini berbeda dari biasanya. Akane, aku merasa kamu semakin jarang menusuknya. Bukankah kamu dulu benci bahkan berbicara dengannya? ”

"Ah…"

Karena mereka biasanya selalu berkelahi, mereka akan menimbulkan kecurigaan jika mereka berhenti. Sesuatu yang sama sekali tidak terbayangkan. Akane akan merasa bersalah karena tidak berdebat dengannya setiap hari untuk menghentikan kecurigaan.

“Tidak…Bukannya aku membencinya atau apa, bukan seperti itu…”

"Jadi kalian berdua menjadi dekat?"

“Tidak, aku pasti tidak lebih dekat dengan S, Saito~!”

“Lalu, ada apa denganmu? Apa kau demam?”

Himari meletakkan tangannya di dahi Akane untuk memeriksa. Agak berlebihan untuk dianggap sakit, hanya karena tidak berdebat.

Menyadari bahwa wajahnya sendiri pasti lebih panas daripada tangan dingin Himari, Akane menutupi dahinya dan mundur selangkah.

“Aku tidak demam! Sekarang…Itu benar! Aku sedang menabung untuk pertengkaran kita selanjutnya! Kelihatannya damai di permukaan, tapi sebenarnya ini hanya masa perang dingin!”

"Jadi, apa yang akan kamu lakukan saat bertengkar nanti?"

"Aku belum memutuskan... Aku akan membiarkan dia merasakan semua kedalaman keputusasaan karena dia telah dilahirkan!"

"Saito, lari~!"

Himari memucat.

—Entah bagaimana, dia berhasil menipu Himari…

Melihat Akane menghela napas lega, Himari memiringkan kepalanya.

"Tunggu…? Akane, apa kau selalu memanggil Saito dengan namanya?”

“………!!”

Kali ini, giliran Akane menjadi pucat.

“Apa yang tiba-tiba terjadi padamu? Apakah ada sesuatu yang terjadi dengan Saito?”

"T, t, tidak ada sama sekali ..."

“Pasti ada sesuatu? Kecuali, hal-hal yang kamu tanyakan sebelumnya, tentang orang yang ingin kamu dekati, mungkinkah itu Saito?”

“Tidak~…eto…erm~…”

Dia menggunakan semua kekuatan otaknya untuk mencari alasan, tetapi tidak menemukan apa-apa. Kepalanya berputar, suhu tubuhnya naik, sulit bernapas.

“Aku, aku akan pulang sekarang! Sampai jumpa besok!"

“Akane? Periode pertama baru saja berakhir~!?”

Meninggalkan kata-kata Himari, Akane berlari dengan kecepatan penuhnya.

Tampaknya dia tidak perlu mempersiapkan dirinya lagi.



<    Sebelumnya    |    Index    |    Selanjutnya    >

You may like these posts

2 Komentar

  1. Unknown
    Min, kalau boleh saran, kata "saya" di ubah jadi "aku", biar enak buat dibacanya, nggk terlalu formal
  2. Unknown
    Lapor kapten , banyak kru kapal yang tewas